Bandung, penghujung tahun 2018
Hawa subuh yang masih menguar dingin, menyelusup pori-pori kulit yang terbalut jaket. Aroma tanah basah sisa hujan semalam menyeruak ke lubang hidung hingga napas sedikit tersumbat. Dua sosok bayangan bergegas mengikuti langkah kami di remang fajar. Itu adalah bayanganku dan Dinda yang tersorot lampu jalanan. Dengan tergesa, aku memanggil taksi yang kebetulan mangkal tak jauh dari komplek pesantren. Dadaku sedikit lega ketika sudah berada dalam kendaraan itu.
Stasiuna kereta, kucetuskan ketika pengemudi taksi menanyakan tujuan.
Sambil bersandar di jok mobil, kupejamkan kelopak mata yang semalaman tadi tak bisa tertutup rapat.
Sungguh berat sebenarnya harus meninggalkan tempat dan orang-orang di pondok itu. Bagaimana pun juga di sana aku banyak mendapatkan sesuatu yang berarti dalam hidup. Di sana aku merasa telah lahir kembali menjadi manusia baru. Tepatnya jiwa yang baru. Apalagi jika mengingat lagi seraut wajah lembut yang rela memberikan segalanya untukku, enggan rasanya jauh darinya.
Akan tetapi, andai mengingat lagi air mata yang jatuh di pipi beningmya itu, aku harus tega meninggalkannya. Meski terbalut senyuman, ia menderita dari luka yang ditorehkan sendiri. Dan aku tak ingin membiarkannya berlarut. Sekali lagi aku tak ingin menjadi duri di tangkai mawar yang indah, yang setiap saat bisa melukai. Meski dalam hati, aku sendiri tak tahu, diri ini sebagai penghianat jika aku pergi atau jika tetap tinggal.
Pukul tujuh tepat di saat matahari muncul di sela bangunan gedung-gedung tinggi menyorotkan sinar keemasannya, kereta tujuan Bandung mulai bergerak. Aku tak tahu lagi harus ke arah mana kaki ini melangkah. Tak ada pilihan lagi selain Bandung. Kembali ke Jakarta, sama saja dengan mengulang cerita luka lama. Sedangkan aku sudah hampir berhasil melupakannya.
Demi Dinda. Hanya demi anak yang tinggal semata wayang ini, aku harus rela menanggalkan ego. Sudah tak kupikirkan lagi bagaimana cara menghadapi penerimaan orang tuaku nanti. Aku tak tahu mereka masih mau menerimaku apa tidak, atau bahkan namaku sudah benat-benar tercoret. Bagaimana nanti saja. Aku hanya mengikuti kata hati yang tak bisa lagi kutawar.