Pagi nan cerah walau masih berselimut kabut. Udara dingin terasa menggigilkan tubuhku. Pandanganku jauh tertuju ke arah barat daya, dimana puncak kawah gunung Tangkuban Perahu yang berhalimun masih berdiri tegak dengan jumawa. Yang berbeda adalah, dulu pemandangan itu bisa terlihat langsung dari halaman rumahku dengan leluasa. Namun kini sebagian terhalang bangunan tinggi sehingga tak bisa terlihat dengan sempurna. Lalu kupejamkan kelopak mata untuk meresapi betapa nikmatnya hawa segar yang selama ini kurindu. Meski tak sesejuk waktu dulu, Bandung memang berbeda dibanding Jakarta atau Surabaya yang panas.
"Sayuur ... sayuurr! Bu Surya, sayurnya, Bu!"
Teriakan tukang sayur membuyarkan lamunanku. Mang Engkos, masih tetap tukang sayur langganan keluarga sedari dulu. Melihatku, Mang Engkos terperanjat.
"Neng Vanna? Bener Eneng, ini teh? Euleuh-euleuh, apa kabar, Neng? Meni lama pisan Mamang nggak lihat!" Tukang sayur asal Tasikmalaya itu menghampiri, lalu menyalamiku.
"Baik, Mang. Sebentar kupanggil Ibu dulu ya?" jawabku menghentikan mulutnya yang menyerocos.
Namun saat kembali dari dalam rumah, langkahku yang akan menuju halaman kuurungkan. Di luar, sudah banyak ibu-ibu mengerubungi gerobak sayur Mang Engkos. Mereka berbisik-bisik dengan bibir mencebik, sementara matanya melirik ke arahku. Ada keterkejutan ketika mereka melihatku.
"Eh Neng Vanna, akhirnya pulang juga!”
"Neng, sama siapa pulang?"