Kukira, Sendiri itu Asyik

Rina F Ryanie
Chapter #24

24. Lara Masih Mendera

Bandung, awal tahun 2019

Namun begitu aku masih penasaran jika belum berusaha apa pun. Benar apa yang ini katakan, tak semua yang terlihat harus dilihat. Aku harus menutup mata dulu untuk dapat melihat, meski hanya dengan menutup sebelah mata. Setelah kupikir bolak-balik, akhirnya aku memutuskan untuk melamar kerja lagi. Hanya Dinda yang menjadikanya alasan. Sementara harus kusingkirkan prasangka buruk serta rasa egoku. Andai aku tak bergerak, lalu siapa yang akan memperjuangkan nasib dan masa depannya?

Berbekal ijazah SMA, serta pengalaman kerja—tanpa surat keterangan dari perusahaan tempat kerjaku dulu— sangatlah sulit mencari pekerjaan mengingat usia dan statusku kini. Yang mereka cari rata-rata fresh graduate, juga tak berhijab. Andai aku menanggalkan hijab, mungkin akan lebih mudah mendapatkannya. Namun aku harus berpegang pada komitmen dalam berhijrahku. Meski belum bisa berbuat banyak untuk meningkatkan kualitas ibadahku, setidaknya aku tak melepas hijab dalam kondisi apapun. Tetapi aku tak pantang menyerah. Beberapa berkas lamaran kukirim lewat penerimaan karyawan secara daring. Untuk kesekian kalinya aku datangi panggilan wawancara, hasilnya belum ada kepastian. Aku masih harus menunggu kabar selanjutnya, diterima atau tidak. Sampai akhirnya, sebuah perusahaan distributor menerimaku sebagai tenaga pemasaran produk kesehatan dan kecantikan. Langsung kuterima karena tanpa ada syarat harus menanggalkan hijab. Sepertinya akan cocok dengan kepribadianku.

Setelah melakukan interview dengan Kepala HRD dan wakil pimpinan perusahaan, aku menyanggupi seluruh aturan dan tugas yang akan dikerjakan nanti.

Sejak itu setiap pagi aku berangkat ke kantor yang berada di pusat perkantoran Kota Bandung, dengan mengendarai motor Ayah. Untungnya SIM C-ku yang masih berdomisili Jakarta, masih berlaku hingga tahun berikutnya. Terus terang saja, kalau aku menggunakan kendaraan umum, masih belum siap menghadapi pandangan orang-orang. Trauma itu belum hilang.

Di hari pertama kerja, sebelum mencapai lantai sembilan gedung perkantoran itu, yaitu lokasi kantorku, aku menaiki lift lebih dahulu. Karena waktu menunjukkan hampir dimulainya jam kerja, setengah berlari aku bergegas menuju pintu lift. Sayangnya karena kurang berhati-hati, hak sepatuku yang runcing dan berukuran tujuh senti itu terselip di rel pintu lift yang hampir menutup lagi. Untungnya, tangan seseorang dengan sigap menarik pergelanganku hingga tubuhku tak sampai terjatuh. Setelah berdiri tegak, aku menghela napas, lalu melirik orang yang tadi menyelamatkanku untuk berterima kasih.

 Sebuah senyuman tersungging manis dari lelaki disampingku. İa mengangguk seraya berucap, "lain kali hati-hati."

Aku mengucapkan terima kasih sambil tertunduk karena malu.

Tiba di lantai sembilan, pintu lift terbuka. Aku mendahului lelaki itu yang ternyata mengikutiku keluar. Apakah ia pegawai di kantor ini juga? Aku bergegas menuju ruang HRD yang pasti kepala bagiannya menungguku untuk memberitahu hak dan kewajiban, juga ruang kerjaku.

"Selamat pagi, Bu Savanna," sambut Kepala Bagian Kepegawaian itu. Kulirik papan nama di mejanya, bertuliskan Yoga Saputra.

"Selamat pagi, Pak Yoga. Apa yang harus saya kerjakan hari ini?" sahutku.

"Bu Vanna ditunggu Bos di ruangannya. Beliau yang akan menginstruksikan tugasnya," jawabnya lalu berdiri sambil mengajakku keluar ruangan. "Mari, biar saya antar!"

Aku mengikuti langkahnya menuju ruangan bos sambil membayangkan pertemuanku dengan seorang lelaki tua, berperut buncit, yang akan kupanggil Bos. Sesampai di ruangan yang terletak di ujung koridor, seketika aku terpaku. Di ruangan cukup luas itu, tatapanku beradu dengan sepasang mata yang tampak tertegun melihat kedatanganku. Sejenak kami sama-sama terpaku, lalu ia segera mempersilakan aku duduk. Sementara Pak Yoga kembali ke ruang kerjanya.

Lihat selengkapnya