Bandung, awal Februari 2019.
Senja itu langit Kota Kembang dihiasi awan berjelaga yang berarak semarak. Mentari menebarkan semburat jingganya dari balik punggung Tangkuban Perahu. Kulajukan motor dengan kecepatan di bawah biasanya karena Dinda kubonceng di belakang. Kami hendak menjenguk kakek dan nenek Dinda dari ayahnya. Aku hanya menuruti keinginan orangtuaku untuk menemui mereka. Tak bisa kubayangkan lagi seandainya aku kembali mengecewakan mereka. Sudah kujanjikan pada diri sendiri bahwa tak boleh ada lagi air mata yang keluar dari mata mereka, walaupun hanya setetes. Aku tak bisa memaafkan kesalahanku lagi.
Hampir saja aku tak mengenali letak dan bangunan rumah Om Dira. Namun setelah bertanya kepada penjaga toko di tempat itu, baru aku yakin. Rumah yang dulu besar dan berhalaman luas, kini tampak hanya separuhnya. Pekarangannya sudah berganti ruko dan separuh bangunan rumahnya berubah jadi kedai bakmi. Sebegitu drastisnya kah perubahan hidup omku yang juga bekas mertuaku itu? Baru kupercaya apa yang diceritakan İbu tentang omku, setelah terbukti di depan mataku. Penyakit Om Dira yang merenggut semuanya. Apa mungkin ia terlalu memikirkan kehidupan anaknya yang bernama Fian hingga berujung seperti ini? Sedikit rasa bersalah menyelusup di dadaku. Apakah aku terlibat dalam beban pikiran penyebab sakitnya?
Setelah kuketuk pintu dan ketiga kalinya kuucapkan salam, seraut wajah tua, lebih tua dari ibuku tertegun membukakan pintu. Tante Lies Sri Haryati, istri Om Dira mematung sambil menilik-nilik orang di hadapannya. Tampaknya ia sudah tak mengenaliku. Sekian tahun sejak menikahkan aku dan anaknya, kami memang belum pernah bertemu muka lagi.
“Siapa ya? Ada keperluan apa?” tanyanya seraya memandangku dengan meneliti dari kepala sampai ujung kaki.
“Tante, apa kabar? Aku Vanna, anak Ibu Kartini dan Pak Surya,” sahutku dengan suara bergetar. Seketika, sisa-sisa rasa benci, marah, dendam, sirna sudah berganti rasa iba. Aku tak mengira Tanteku yang dulu terang-terangan menolak menikahkan aku dengan Fian, bisa berubah seperti ini penampilannya. Rambut yang seluruhnya berwarna putih menghiasi wajah tirusnya yang keriput. Giginya sudah banyak yang tanggal, tampak ketika mulutnya tertarik saat mengernyitkan dahinya. Tak terihat lagi sisa-sisa kecantikan di masa mudanya dulu. Tante Lies yang dulu anggun dengan sedikit angkuh, kini sudah berubah renta. Salah satu bukti bahwa tak ada yang langgeng di dunia ini. Maka, tak ada yang perlu dibanggakan dan dijadikan kesombongan. Semua akan kembali kepada-Nya.
Begitu mendengar namaku, perempuan itu hampir memekik memanggilku.
“Vanna ... betulkah ini kamu, Vanna?” Kelopak mata yang cekung seperti menahan kedua bola matanya yang hendak keluar karena kaget. Ia lalu menatapku dan Dinda bergantian.
Aku tak menjawabnya, melainkan merangkul tubuh kurusnya yang hampir terjatuh karena lunglai. Aku memapahnya menuju kursi rotan di ruang tamu.
“Mah! Mah! Siapa yang datang?” Suara parau dari kamar, membuatku terkesiap. Itu pasti Om Dira!
Setelah mendudukkan Tante Lies, kutinggalkan ia yang kini menangis tersedu-sedu. Segera kutemui sumber suara yang memanggil istrinya. Ya Tuhan! Aku menarik napas untuk meredakan degup jantung yang berpacu tak beraturan. Di pembaringan, tampak Om Dira tergolek lemah. Ia menatapku dengan sorot mata yang layu.