Pagi-pagi sudah kusiapkan hidangan untuk sarapan di meja makan. Air hangat sudah kusiapkan untuk mandi Om Dira, juga seisi rumah sudah rapi kubereskan. Tante Lies terlihat senang dan puas dengan apa yang kulakukan di rumah itu.
“Seandainya dari dulu kita bersikap seperti ini. Kita tak mungkin kehilangan menantu perempuan,” gumam omku seolah menyesali.
“Betul, Pak. Sekarang mungkin kita selalu dikelilingi cucu-cucu.” Tante Lies menimpali, tak kalah menyesalkan.
“Sudahlah Om, Tante! Yang lalu biarlah berlalu. Yang penting, saat ini kita sudah berkumpul lagi, merajut lagi benang silaturahmi keluarga kita,” ujarku menengahi.
“Jika Fian tidak berkelakuan brengsek dengan menelantarkan kalian, istri dan anak-anaknya, kita sudah pasti bahagia! Tak akan semenderita ini,” sambung Om Dira yang langsung kututup pembicaraannya dengan menyuapkan bubur ayam buatanku ke mulutnya.
Malam kedua menginap di rumah mantan mertuaku, tak biasanya Dinda susah diajak tidur. Ia masih tenggelam dalam imajinasinya di atas kertas gambar. Entah untuk kesekian kalinya aku menguap menahan kantuk, namun Dinda masih tak mau beranjak padahal jarum jam dinding sudah menunjuk ke angka 10.
Mataku yang baru saja setengah terpejam, sontak terbuka lagi ketika pintu depan ada yang mengetuk. Uh! Siapa sih yang bertamu di malam larut begini? Mengganggu saja! Apa ia tak mengerti etika bertamu?
Agak was-was sebenarnya ketika hendak membukakan pintu. Aku takut yang datang ternyata orang tak baik dan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Namun ketukan itu berulang lagi beberapa kali sehingga mau tak mau aku bangkit dari tempat tidurku. Kuraih hijab yang tergantung di belakang pintu kamar, lalu segera kukenakan alakadarnya. Sebelum kubuka pintu, kusibak sedikit tirai jendela kaca untuk mengintip. Dengan terkejut, kututup kembali tirai itu sambil mematung beberapa saat. Di luar, sesosok tubuh yang rasanya pernah kukenal baik berdiri di depan pintu. Setelah sosok lelaki di luar pintu itu mengucap salam serta memanggil ibunya, kuberanikan diri membukanya.
Lelaki itu menghentikan langkah yang tadinya hendak langsung masuk. Ia terpaku memandangku dari atas hingga ke bawah, dengan ragu-ragu.
“Vanna? Kenapa ada di sini? Bukannya kamu di Surabaya?” tanyanya dengan tatapan tak percaya saat melihatku berada di depan matanya. Sudah pasti ia tak bakalan menyangka aku bisa berada di rumah orangtuanya. Mustahil rasanya.
“Aku menjenguk Om dan Tante, kebetulan mereka memintaku menginap,” sahutku sambil menutup kembali pintu.
“Dinda mana? Dia ikut, kan?” tanyanya. Begitu masuk matanya mencari-cari ke dalam ruangan. Kemudian lelaki yang terlihat agak kurusan setelah beberapa bulan tak kulihat itu menemukan Dinda, ia menghampiri lalu memeluk anak itu. Masihkah ada rindu tersimpan untuk darah dagingnya?
“Dinda, ini Ayah, Nak! Ayah kangen!” Dinda hanya terdiam menatap lelaki yang memeluknya. Setelah Fian melepaskan pelukan, ia kembali melanjutkan kegiatannya tanpa terganggu.