Istanbul, musim semi 2019
"Teh, aku nggak bercanda. Aku serius!"
"Aku juga serius, Idar."
"Tapi aku benar-benar mencintai Teteh."
Aku menghela napas. Keras kepala juga ini anak. Sudah dijelaskan bahwa aku tak mungkin menerima dia sebagai kekasih. Berbagai alasan sudah kucari ketika ia mendesakku untuk memberi jawaban.
Belum genap dua bulan aku berada di Istanbul ini. Di senja tepi pantai Uskudar yang menghadap ke Maidens Tower, Haydar dengan berani menyatakan perasaannya kepadaku.
"Usia kita hanya terpaut sedikit, tak masalah bagiku. Kita bisa menyesuaikan nanti. Anakmu juga tak menjadi kendala, aku bisa terima apapun keadaannya. Aku sungguh-sungguh, Teh!" Haydar tetap mendesakku. Tatapannya tak lepas menghujam bola mataku. Aku memalingkan muka, sedikit risih ditatap seperti itu. Kulayangkan pandangan ke arah menara tengah laut itu, untuk membantu mengatasi kegugupan.
"Aku nggak bisa kasih jawaban secepatnya, Idar. Aku butuh waktu. Tak mudah secepat itu aku melupakan masa lalu yang pahit. Tak mudah menghapus rasa sakit dari luka dalam." Akhirnya kuucapkan kalimat untuk menutup topik pernyataan cinta dari anak muda itu.
"Okay, aku ngerti. Banyak yang harus Teteh pertimbangkan untuk memutuskan menerimanya atau nggak. Aku akan tetap menunggu." Haydar meraih batu lalu berdiri, dan melempar batu itu jauh-jauh ke laut hingga tak terdengar suara kecipaknya. Tampaknya ia sedang membuang rasa kesal dan kecewanya.
Aku memang menyukai anak muda yang berpikiran dewasa itu. Namun sebatas suka. Tak pernah sedikit pun ada perasaan lain di hatiku. Aku hanya butuh teman. Orang seperti ia mampu mencairkan kebekuan hatiku selama ini. Hanya ia yang mampu mengisi kekosongan jiwaku. Bukan Raisya sahabatku yang terlalu sibuk dengan warungnya. Bukan Ramzi yang seperti menjaga jarak tapi tatapannya penuh misteri kepadaku. Di negeri orang ini aku kesepian. Dan Haydarlah yang dirasa paling mengerti keadaanku. Ia teman terdekatku di sini.
"Sudah sore, pulang yuk? Ini kan jam istirahatku, bukan waktu liburku," ajakku sambil berdiri dari bebatuan pinggir pantai yang kududuki. Kutepuk-tepuk pantat yang penuh pasir menempel di celana jeansku. Haydar melempar batu terakhir dengan hempasan keras, lalu berjalan mengikutiku.