Istanbul, penghujung musim gugur 2019
Semalam Ibo mengirim pesan untuk mengajak aku dan Haydar pergi ke rumah tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Ia berencana akan menempati lagi rumah peninggalan kakeknya itu setelah sekian lama dibiarkan kosong. Ini kesempatan buatku untuk mengorek kisah hidupnya yang tertutup rapat. Sampai kapan ia bisa menutup diri dariku? Masihkah ia akan menjadi seorang introvert?
Dengan terburu-buru, kubasuh muka dan menyiram seluruh tubuh dengan air dari shower. Saat mengeringkan tubuh dengan handuk, aku terperanjat ketika terdengar suara bergedebuk di luar kamar mandi. Pikirku mungkin kucing yang memang banyak sekali berkeliaran tanpa tuan di sekitar lingkungan ini. Aku kembali mengeringkan badan kemudian melilitkan handuk menutupi sebagian auratku.
Hari libur kali ini pastinya akan bersenang-senang dengan kedua laki-lakiku. Astaghfirullah! Kenapa aku sampai berpikiran bahwa Ibo dan Haydar adalah milikku? Sadar Vanna, sadar! Tetapi kenyataannya memang mereka berdualah yang kumiliki di tempat perantauan ini. Bukan Raisya, sahabat juga bosku yang semakin lama semakin menjauh, padahal aku tak pernah bermasalah dengannya.
Entahlah, ia seakan berusaha menghindar dariku setiap kali kudekati. Aku tak mengerti dengan sikapnya akhir-akhir ini. Bukan juga Ramzi yang sok menjaga jarak tapi diam-diam suka memperhatikan aku. Mungkinkah itu sebabnya Raisya menjauhiku? Apa mungkin ia cemburu padaku? Tak mungkin! Sedikit pun aku tak tertarik dengan suaminya.
Seperti biasa kalau kami berangkat bertiga, aku duduk di belakang. Seperti biasa pula aku menikmati sepasang mata elang beriris cokelat, mencuri-curi pandang dari kaca spion dalam. Yang berbeda adalah, kini aku tersenyum saat menangkap tatapan itu, bukan lagi jengah seperti dulu.
Haydar bersenandung mengikuti alunan syahdu lagu Ay Tanli Kadin dari suara serak-serak basah Ufuk Beydemir. Suara yang mengingatkanku pada John Bon Jovi itu mengiringi sepanjang perjalanan dan sudah sangat familiar di telinga kami. Entah mengapa aku langsung jatuh cinta saat pertama mendengar lagu favorit Ibo itu mengalun. Walau tak semua mengerti liriknya, namun aku sangat menikmatinya. Dan Ibo tahu aku suka, hingga selalu memutarnya di setiap perjalanan jika bersamaku.
"Allah Allah ... kamu suka juga sama lagunya, Brother Abi?" kelakar Ibo menggoda Haydar yang asyik mengikuti lagu. Haydar tak menjawab, malah semakin mengencangkan suaranya.
Rumah yang kami tuju berada di perbukitan wilayah barat Istanbul bagian Eropa. Rumah besar yang lebih tepatnya disebut mansion itu kini sudah berdiri dengan angkuhnya di hadapan kami. Aku dan Haydar hanya tercengang dan berdecak kagum memuji keindahan arsitekturnya. Tak disangka saja orang serendah hati Ibo memiliki istana semewah ini, meski tampak kusam dan lengang. Lebih tepatnya berkesan menyeramkan.
Setelah menekan tombol di tepi gerbang, muncullah dua orang lelaki separuh baya yang tergopoh-gopoh mendatangi kami.