Kukira, Sendiri itu Asyik

Rina F Ryanie
Chapter #38

38. Senja Terakhir di Selat Bosphorus

Malam ini, warung tutup lebih awal karena persediaan bahan makanan hampir habis. Ramai sekali pengunjung yang makan dari pagi hingga sore. Beberapa biro perjalanan ibadah Umroh plus Turki dari Indonesia, singgah di warung kami. Cukup melelahkan namun aku bersyukur warung sahabatku ini bertambah ramai.

Sebelum istirahat, aku terbiasa mandi dulu. Letak kamar mandi yang berada di antara kamarku dan pegawai pria, membuatku risih karena harus hati-hati dalam menjaga aurat. Kadang aku merasa ada yang mengintip hingga mandi terburu-buru. Rasa waswas selalu menghantui mengingat para pegawai di sini hampir semua laki-laki.

Seperti saat ini, aku kembali dikagetkan dengan suara pegangan pintu yang berusaha diputar dari luar untuk dibuka. Namun tak ada siapa-siapa saat kulihat. Aku kembali asyik menyiram tubuhku yang berlumur busa sabun sampai lupa tadi tak mengunci pintu kembali.

Aku spontan berteriak begitu pintu kamar mandi terbuka. Namun belum sempat berteriak, mulutku sudah dibekap Ramzi. Seolah kerasukan setan, ia memeluk tubuhku yang polos sambil tetap membekap mulutku. Aku meronta berusaha melepaskan diri dari dekapannya. Namun tenagaku kalah kuat dengannya yang bertubuh agak tambun.

"Jangan ribut! Ikuti saja apa mauku! Jangan berlagak sok suci. Aku sudah tahu siapa kamu, Pelacur!" Ramzi membisikkan ancaman di telingaku. Semakin kuat meronta, semakin habis tenagaku.

"Layani aku! Kalau tidak, aku punya banyak foto-foto hasil mengintip kamu saat mandi. Sangat mudah buat disebar dan viral seperti video mesummu dulu."

Mendengar ancamannya, tubuhku yang melemah tergetar hebat karena shock. Aku tak mau kejadian itu berulang lagi. Di saat tubuhku seolah tak bertulang, tiba-tiba ada kekuatan dari dalam diri untuk melawan. Kakiku kuangkat sekuat tenaga, lalu menendang keras tepat ke alat vital Ramzi. Ia meringis kesakitan hingga tangannya replek menangkup barang pribadinya itu. Tubuhku otomatis terlepas dari pelukannya, dan kesempatan itu tak kusia-siakan untuk berlari ke kamarku.

Aku duduk di bibir ranjang masih berbalut handuk, sambil merasakan degup jantung yang tak beraturan. Kutarik napas untuk menormalkan dadaku yang tersengal-sengal. Aku masih belum percaya apa yang baru saja terjadi. Aku bingung harus bagaimana menghadapinya. Semua berlangsung tiba-tiba, tanpa menaruh curiga sampai jauh kepada suami sahabatku, akan tega berbuat seperti itu. 

Segera kukemasi barang-barangku ke dalam koper. Aku tak bisa lagi melanjutkan kerja di tempat ini. Aku harus pergi! Meski tak tahu ke mana, hanya satu bayangan wajah yang berkelebat di pikiranku. Ibo.

[Tolong aku Iboçim. Jemput aku sekarang juga. Please!]

Segera kulayangkan barisan huruf yang kususun berupa pesan ke ponsel Ibo.

Kuintip dari celah pintu untuk melihat situasi di luar kamar. Sepi. Aku takut Ramzi masih menunggu untuk melanjutkan aksi bejatnya. Aku tak tahu ia akan bersikap bagaimana kepadaku di depan istrinya. Daripada pusing memikirkannya, lebih baik aku pergi. Dengan mengendap-endap aku keluar menyelinap dari pintu dapur. Lebih baik aku menghindar dari pada menetap tetapi menantang bahaya.

Aku bergegas menuju halte yang sepi. Jalanan pun sudah terlihat lengang. Hanya aku yang dalam keadaan cemas, duduk gelisah menanti Ibo segera datang. Untungnya tak terlalu lama karena sebuah Jeep hitam berhenti di depanku.

"Ada apa, Vanna? Kamu terlihat pucat," tanyanya dengan cemas.

Lihat selengkapnya