Bandung, awal 2020.
Sebelum memasuki Ataturk İnternational Airport, semua calon penumpang pesawat diperiksa kesehatan. Mulai dari cek suhu tubuh, serta penyemprotan disinfektan. Tindakan ini untuk menghindari Virus Corona yang kebetulan mewabah di seluruh dunia, berasal dari Wuhan, China. Kini mulai memasuki Turki di awal tahun terbawa turis atau yang pernah melakukan perjalanan dari luar negeri. Untung saja waktu itu belum diberlakukan lockdown, atau pembatasan kunjungan dari dan ke luar negeri. Malah banyak yang dipulangkan oleh pihak KBRI di Turki agar tak sampai terjadi sesuatu di negeri orang, yang akan menyusahkan diri.
Selama penerbangan aku ingin memejamkan mata, namun sia-sia. Pikiranku masih berada di Istanbul. Hatiku tertinggal di kota itu. Beberapa kenangan bersama dua hati yang kutinggal di sana kembali bermunculan silih berganti. Dari mulai saat di kafe tepi laut, Masjid Ortakoy, Maidens Tower, menyusuri sepanjang Selat Bosphorus, hingga peristiwa di mansion. Namun segera kutepis bayangan saat aku hampir saja dinodai Ramzi. Aku tak mau mengingatnya lagi. Luka lama saja belum sembuh, apalagi sampai menambah luka baru. Sudah cukup penderitaanku yang kualami selama ini. Dan aku sangat bersyukur, Tuhan telah menyelamatkan aku.
Dua bayangan wajah lelaki itu tak mau pergi dari pelupuk mata. Yang satu dengan senyumnya yang selalu mengembang. Tawa candanya yang renyah, selalu pandai menghiburku. Meski terkadang manja, ia begitu dewasa ketika dihadapkan persoalan rumit. Aku sudah menganggapnya adik, walaupun ia tetap mempertahankan perasaan cintanya kepadaku. Tahun ini ia menyelesaikan studi S-2-nya dan berjanji jika kembali ke Jakarta, ia akan datang ke Bandung mengunjungiku. Haydar yang tengil tapi lucu. Aku pasti kesepian tanpa hadirnya.
Bayangan satu lagi, debar jantungku langsung mengencang setiap mengingatnya. Sepasang mata elang yang tajam bila menatap, membuatku tak kuasa melawan sorotannya. Tak banyak cakap, introvert, namun perhatiannya kadang berlebihan. Di dekatnya, aku merasa nyaman dan terlindungi. Saat aku memutuskan untuk pulang, ia sempat marah. Emosinya meledak-ledak, tak jelas siapa yang disalahkan. Tetapi untungnya hanya berlangsung sesaat, karena setelah itu ia membantuku mendapatkan tiket. Bukan hanya itu, ia memaksaku untuk memberikan nomor rekening bank. Beberapa saat kemudian ia mengabarkan telah mentransfer sejumlah uang yang sudah dikonversi ke rupiah. Ia tahu aku tak punya cukup bekal karena Raisya belum sempat memberikan gajiku. Tak bisa kupungkiri, aku telah membagi sebelah hatiku untuknya. Untuk Ibrahim Bey.
***
"Vanna? Betulkah kamu, Nak?" Ibu membelalakan matanya ketika membuka pintu yang kuketuk.