Aku teringat Bu Mien. Sudah lama tak menemuinya dari sebelum aku ke Turki. Padahal selama aku di perantauan, ia banyak membantu orang tuaku merawat Dinda. Aku harus pergi menemuinya. Walau bagaimana pun, ia banyak berjasa dan sudah kuanggap orang tuaku juga.
Kuutarakan maksudku untuk mengunjungi Bu Min kepada Ayah-Ibu. Mereka setuju dan senang sekali karena menilaiku sebagai orang yang tahu balas budi. Kami pun memutuskan pergi sekeluarga setelah masa karantina mandiriku usai.
Sebelum berangkat, aku mengecek saldo tabunganku yang sudah ditambahkan Ibo sewaktu di Turki. Sisa uang sakuku sudah menipis. Di depan layar ATM, aku kaget bahkan terbelalak menghitung jumlah digital di saldoku. Apa mungkin Ibo yang menambahkan uang sebanyak itu setelah menukarkannya dari TL ke Rupiah? Jumlah lebih dari seratus juta, belum pernah kumiliki sebelumnya. Ah Ibo, betulkah? Sebesar inikah pengorbananmu kepadaku? Sampai sejauh inikah kamu memikirkan kelangsungan hidupku. Uang itu, aku hanya menariknya sedikit untuk keperluan sehari-hari. Aku belum tahu akan digunakan untuk apa uang sebanyak itu.
Tiba di perkebunan teh tempat Bu Mien tinggal, mobil yang dikemudikan Ayah berhenti sejenak. Kami terpukau dengan keindahan ciptaan-Nya. Hamparan hijau pohon teh, luas membentang di kaki bukit. Hawanya yang segar, semerbak menyesap ke paru-paru. Aku hampir lupa letak rumah Bu Mien karena waktu diajak ke tempat ini usiaku masih kecil. Untung saja waktu bertanya kepada beberapa pemetik teh, mereka mengenal Bu Mien dan menunjukkan rumah mungilnya.
Wanita hampir seusia ibuku itu gembira sekali dengan kedatangan kami. Rumahnya nyaman walaupun kecil. Hanya ia sendiri yang menempati. Sehari-hari Bu Mien bergabung dengan pemetik teh untuk mencukupi kebutuhannya. Aku lega karena setelah ia lepas dariku, khawatir tak punya mata pencaharian lagi.
"Neng Vanna nggak pergi ke Istambul lagi, Neng?" tanya Bu Mien.
"Istanbul, Bu!" ralatku. Semua tertawa mendengar ucapan Bu Mien melafalkan nama Ibukota Turki itu. "Nggak, aku mau berdiam diri dulu, Bu. Aku ingin menyepi."
"Neng, ya sudah atuh kalau mau menyepi mah di sini saja sama saya!" Ucapan Bu Mien baru saja itu membuatku terperangah. Tak pernah sedikit pun terlintas di pikiranku. Usul yang bagus! Ya, kenapa tidak?
"Beneran, Bu? Aku dibolehin tinggal di sini?" tanyaku antusias.
"Ya pasti atuh Neng. Masa nggak boleh?"