"Neng! Pak Mandor itu duren lho!"
Tanpa kutanya, tiba-tiba Bu Mien berujar di tengah kesibukan mengolah makanan di dapur. Sementara aku yang sedang mengiris daun bawang, hanya mendelik. Perempuan bertubuh gemuk itu malah senyum-senyum menggoda.
“Pak Mandor? Siapa lagi itu?”
“Pak Yudha, Neng!”
"Apa urusannya denganku?" tukasku. Bu Mien kembali terkekeh sambil mengaduk sayur dalam panci.
"Kali aja si Neng kepo. Dia ganteng lho, sudah dua tahun ditinggal mati istrinya sewaktu melahirkan. Bayinya juga ikut meninggal masih dalam perut ibunya. Banyak pisan gadus-gadis pemetik teh yang memperebutkannya," sambung Bu Mien sambil meringis menepiskan cipratan kuah sayur yang sedang dicicipinya dari tangannya.
"Oya? Kasihan juga mendengar kabar dukanya. Tapi biarin aja Bu, kan banyak yang suka. Pak Yudha bebas memilih pengganti istrinya di antara mereka,” sahutku.
Maksudnya apa, coba. Aku curiga Bu Mien mau mempromosikan duda keren itu kepadaku? Oh, tidak! Aku cape. Lelah jika harus memporak-porandakan kembali hati yang sedang kutata lagi. Sudah kuputuskan untuk tak memikirkannya dulu. Aku harus fokus pada masa depanku bersama Dinda.
"Neng, saya metik dulu! Kalau mau makan, duluan aja. Saya buru-buru takut matahari keburu naik." Bu Mien meraih caping yang menempel di dekat pintu, lalu pergi dengan bakul keranjang pucuk di punggungnya.
Sendiri di rumah kecil dan terpencil begini sebetulnya akan membosankan. Akan tetapi, perasaanku begitu damai dan tenang. Seperti pagi ini, kabut masih menyelimuti area perkebunan. Aku memandangi para pemetik teh berbondong-bondong menembus kabut untuk memetik rejekinya di hari ini. Wajah-wajah polos seakan tanpa beban masalah sepertiku, tampak bersemangat menjemput hari. Aku iri. Iri dengan kehidupan yang mereka lalui, tak serumit diriku. Mereka hanya memikirkan bagaimana mencari nafkah untuk makan hari ini tanpa bersusah payah memikirkan esok hari dan masa depan. Namun itu hanya dugaanku, karena belum tahu seberat apa beban yang mereka pikul. Aku hanya mengira-ngira kadar kebahagiaan orang lain dibanding diriku.
Bu Mien sudah kembali saat matahari sudah merangkak tinggi. Memetik memang dilakukan pagi-pagi sebelum terik menyengat hari, untuk menjaga kesegaran pucuk daunnya.