Jakarta, Mei 2021.
Undangan pernikahan Kinanti kuterima lewat pesan di WhatsApp, juga di telepon. Ia berpesan agar aku wajib hadir di acaranya. Meski acaranya terbatas hanya dihadiri keluarga dan sahabat. Itu pun diadakan dengan memberlakukan protokol kesehatan yang ketat terkait pandemi. Awalnya mereka berniat menundanya hingga pandemi berlalu. Namun keluarga besar Kinan tak setuju mengingat usia Kinan yang tak mudah lagi mendapatkan jodoh jika terjadi sesuatu akibat menunda-nunda.
Seandainya tak datang, ia menyumpahi tak akan memaafkan dan tak mau menghubungiku lagi. Ah, Kinan! Bukannya aku tak mau hadir di tengah kebahagiaan seorang sahabat, namun aku bingung. Tak terbayang nanti jika aku datang, kemudian bertemu kembali dengan rekan-rekan kerja dulu. Semua perhatian pastinya bukan kepada mempelai lagi, tetapi akan beralih kepadaku Aku tak mau mengembalikan memori di kepala mereka mengenai aku. Sudah terpikir olehku apa yang akan menjadi topik pembicaraan mereka ketika melihatku kembali. Bayang-bayang kelam itu masih menghantui pikiranku.
Sungguh, aku tak ingin kenangan yang sudah mulai pupus dalam ingatanku itu harus kembali mencuat. Akan tetapi, ia sahabatku, lebih dari saudara. Masa aku tega membuat ia kecewa di hari istimewanya.
"Gue nggak ngundang-ngundang, Pokoknya lo harus hadir! Gue nggak mau denger apa pun alasannya kalau lo nggak datang. Oya, gue juga punya surprise buat kamu, Vann!"
"Apa itu?"
"Bukan surprise namanya kalau gue kasih tau sekarang. Makanya lo harus datang!"
Aku masih termangu menatap barisan huruf terakhir dari Kinan di layar ponsel, ketika suara Yudha membuyarkan pikiranku.
"Kok bengong gitu, sih? Ada kabar apa, dari siapa?"
"Akang kepo banget sih? Nggak ada apa-apa, bukan dari siapa-siapa juga."
"Abisnya kamu bikin aku khawatir. Kamu kayak kebingungan, Neng. Kalau ada sesuatu yang mengganggu, katakan saja! Aku siap dengerin kok."
"Makasih, Kang. Aku cuma bingung aja mikirin datang atau enggaknya ke pernikahan sahabatku di Jakarta."
"Lho, kenapa mesti mikir? Kalau beneran sahabat, masa sih sampai nggak mau datang?" Kata-kata Yudha persis seperti dalam pikiranku, tetapi ia tak tahu alasan di balik kebimbanganku itu. Aku hanya diam tak berani menyanggahnya.
Melihatku tak kunjung menanggapi ucapannya, Yudha mendekatiku. Setelah mengambil kursi dan duduk di depanku, ia mulai berucap didahului dengan batuk-batuk kecil.
"Neng, aku mengerti apa yang Neng pikirkan. Jangan kaget dulu. Aku harus jujur, sebenarnya aku sudah mengetahui latar belakangmu, kisah masa lalumu sebelum ini. Jangan tanya dari mana aku tahu semua itu! Meski kamu nggak pernah mengatakannya, aku tahu semenjak pertama kali kita bertemu. Terus terang saja, aku mengenalimu dari ... maaf, video itu. Memang awalnya aku ragu karena penampilanmu berubah banyak. Tapi aku yakin itu dirimu, Neng!"
Pengakuan yang kudengar dari mulut Yudha hampir saja menghentikan detak jantungku. Bagaimana tidak, rahasia yang selama ini kusimpan rapat, dengan begitu saja diungkap dari mulut orang lain. Aku tak bisa menyembunyikan gugup. Berkali-kali kutelan saliva sebagian dari reaksi rasa gugupku. Tak tahu lagi ke mana aku harus sembunyikan muka karena kaget bercamapur malu, di hadapan lelaki yang berusaha mendekatiku itu.