Ah, sial! Mengapa aku harus bertemu dia lagi? Bersama istrinya pula. Apakah ini yang dibilang Kinan surprise buatku? Lalu untuk apa Kinan berbuat seperti ini kepadaku?
Fian tampak tegang ketika kukenalkan dengan Yudha. Ia seperti tak suka dan tak bisa menyembunyikan rasa cemburunya. Begitu pun dengan Githa. Ia terlihat terkejut kemudian mukanya langsung mengerut saat mengetahui siapa yang dihampiri suaminya itu. Namun aku cepat menguasai keadaan. Tak kupedulikan ketika Githa menarik tangan Fian untuk berpindah tempat. Sengaja kumanfaatkan kesempatan ini dengan merapatkan dudukku ke kursi Yudha. Biar mereka tahu bahwa aku sudah tak memberi peluang kepada Fian untuk mendekatiku lagi. Biarkan mereka berpikir aku sudah punya pendamping baru.
“Mereka temanmu, Neng?” bisik Yudha yang seperti ge-er menerima sikapku yang seolah mesra padanya.
“Dia mantan suamiku bersama istrinya. Mereka menikah saat aku masih menjadi istrinya.”
“Jadi, perempuan itu merebutnya darimu?”
“Seperti itulah! Tapi aku sudah nggak peduli.”
Tak lama setelah itu Kinan datang bersama pengantin laki-lakinya. Setelah mengenalkannya lebih dekat kepada kami, ia membiarkan Fajri menemui tamu-tamu yang lain. Aku tahu, Kinan hanya ingin lebih bebas mengobrol denganku.
“Sumpah lo, gue kaget. Masih nggak percaya ini lo, Vann! Gue pangling liat lo!”
“Ini semua hasil dari perjalananku.”
“Gue tahu dari semua cerita lo di telepon. Tapi beneran, gue nggak ngebayangin bahwa lo akan berubah sehebat ini.”
“Kinan! Jadi ini yang lo bilang surprise buat gue, heh?” Aku mengalihkan pembicaraan dengan membunuh penasaranku tentang surprise itu.
“Bukan! Kalau Fian aku juga kaget pas dia datang sama istrinya. Bukan aku yang undang, Fajri yang undang Githa!”
Baru saja Kinan sesekali menjelaskan, tiba-tiba sesosok orang yang kukenal baik menghampiri kami. Ia melihatku sekilas namun tak begitu peduli. Mungkin sama dengan yang lain, ia tak mengenaliku lagi. Ia Pak Ben, mantan bos di kantor dulu.
“Oalah, Kinan! Jadi ini surprise yang lo maksud?” bisikku ke telinga Kinan. Pengantin baru itu menggerakkan kepalanya, menyanggah dugaanku.
“Pak Ben, masih kenal sama temanku ini, nggak?” Sial. Kinan malah menunjukkan keberadaanku kepada lelaki separuh baya itu.
“Siapa? Apa kita sudah pernah kenal?” Pak Ben menilik-nilik wajahku yang kebetulan tengah melepas masker untuk makan. Mau tak mau aku menyapanya.
“Astaga! Savanna?” Pak Ben ternganga, persis seperti pelawak yang maksa melucu.
“Iya, Pak. Ini aku!”
“Surprise! Saya hampir tak mengenalimu!”