“Sayang ... kamu ada di sini? Ini sudah malam, apa sebaiknya kita pulang aja?” Suara Bu Siska membubarkan obrolan kami. Tampaknya ia tak rela membiarkan suaminya berlama-lama berduaan dengan perempuan yang pernah menjadi skandalnya. Tanpa diduga, Yunan meraih tanganku lalu menggenggamnya dengan erat seakan tak mau lepas dariku. Segera kutepiskan tangannya dari tanganku sebelum Bu Siska bertindak yang tak diinginkan terhadap kami.
“Sampai kapan pun aku tetap berharap padamu. Aku tak akan bisa melupakanmu,” bisiknya sebelum meninggalkanku.
Akan tetapi aku tak mengira ketika Bu Siska menghampiriku dengan mengucapkan kata-kata mutiara.
“Dengar Vanna! Jangan sekali-kali kamu mengusik kebahagian kami. Jangan sampai kamu mempermalukan dirimu lagi. Ingat itu!”
Aku tak mau meladeninya. Tawa kecilku sudah cukup untuk menjawab ancamannya. Entah mengapa ada rasa puas ketika perempuan yang berhasil melepaskan predikat perawan tuanya itu, berlalu dengan kesal.
“Ada apa, Neng?” tanya Yudha mengkhawatirkan aku.
“Nggak ada apa-apa! Cuma dengerin curhatan orang patah hati aja. It's ok!”
“Lelaki itu, maaf ... kalau nggak salah, yang di rekaman itu, kan?”
“Betul! Ah, sudahlah, nggak usah dibahas lagi. Aku sudah membuang mereka jauh-jauh.”
Yudha pun terdiam, seperti merasa bersalah sudah terlalu banyak mencari jawaban keingintahuannya.
Belum juga berapa menit kembali ke mejaku, ponselku berbunyi. Dengan refleks aku mencari sosok nyata orang yang namanya muncul di layar. Fian melambaikan tangannya, lalu menunjuk ke arah belakang panggung pelaminan.
“Ada apa lagi, sih?” gerutuku yang tak kusadari didengar Yudha.
“Kenapa, Neng?” tanyanya kembali keheranan.