Aku terkesiap saat melihat nomor asing masuk ke panggilan ponselku. Nomor awal yang bukan merupakan kode nasional. Ya, itu nomor Turki. Siapa lagi kalau bukan dia, meski dengan nomor baru. Dia, yang selalu kunantikan kabarnya hanya karena satu alasan, yaitu rindu.
“Hallo! Evendim, Aşkim,” sahutku membuka panggilan.
Tak ada jawaban. Aku mengulang ucapan untuk menandai bahwa panggilannya telah kuterima. Anehnya, kembali tak ada jawaban. Tak ada suara manusia kecuali terdengar gemerisik tak begitu jelas dan jauh.
“Ibo, apa kabarmu? Kami di mana sekarang? Kenapa baru hubungi aku lagi?” tanyaku dengan nada mulai kesal.
Tak ada jawaban. Aku spontan melihat layar, ternyata panggilan sudah terputus. Dengan kesal, aku menaruh ponselku agak kasar di atas meja kasir.
“Apa maksudnya Ibo telepon, tapi nggak mau ngomong? Kalau nggak niat hubungi aku lagi, kenapa kirim pesan dan melakukan panggilan?” gerutuku.
“Kunaon camberut kitu? Ada apa, Neng?” tanya Bi Mien sambil mengerungkan dahi melihatku.
“Nggak ada apa-apa, Bu. Kesel aja ada orang telepon tapi nggak mau ngomong. Buang-buang waktu aja!”
“Makanya, buruan nikah. Emang gitu kalau perempuan masih sendiri. Banyak yang godain!” ujar Bu Mien membuatku tambah mumet.
“Apa sih, Bu? Selalu itu-itu aja yang dibikin alasan. Nggak ada yang lain, gitu?” sanggahku.
Untuk mengalihkan bahasan, aku segera membereskan paket teh hijau pesanan dari follower instagram. Aku menunggu kurir langganan untuk mengirimkannya ke alamat masing-masing pengirim. Usaha baruku ini lumayan laku meski dijual secara daring. Teh hijau kering sebagai bahan minuman herbal, juga berupa minuman teh hijau segar dalam berbagai rasa. Brand minuman kesehatan yang kurintis di situasi pandemi covid-19 ini, di samping warung nasi. Meski berada jauh dari kota, tetapi pelanggan bertambah dari berbagai daerah.
“Neng, Pak Yudha itu nggak main-main, lho! Kemarin dia tanya-tanya sama Ibu, kapan waktu yang baik untuk menemui ayah dan ibumu.”
Ah, dasar Bu Mien! Alih-alih menyudahi bahasan, justru ia semakin menjurus ke topik yang lebih serius.
“Bu, aku belum siap. Aku masih ingin menikmati kesendirian. Bilang Pak Mandor kesayangan, Savanna nggak mau diganggu! Ia lagi meracik minuman varian baru dari teh hijau, uang akan go international,” jelasku berusaha menyembunyikan rasa jengkel.
“Neng tuh, gitu terus. Kapan siapnya kalau menunda-nunda terus?” sungut Bu Mien meninggalkan ruangan sambil menggerutu.
Aku kembali termenung di antara kemasan plastik teh yang menumpuk. Kulirik ponsel di meja, langsung mengingatkan kembali pada panggilan telepon aneh itu. Belum pernah Ibo bertindak seolah mempermainkan diriku.
Ah, jangan-jangan itu memang bukan dari Ibo? Yang tinggal di Turki kan bukan hanya dia. Bisa jadi itu Raisya. Karena, setelah kejadian aku dengan Ramzi itu, ia tak pernah menghubungi lagi. Aku pun tak sudi menghubungi meski nomor WhatsApp-nya masih aktif. Tetapi, untuk apa? Aku tak akan melayani jika akan membuat lukaku bertambah dalam. Aku belum bisa memaafkan, apalagi melupakan peristiwa itu.
Namun, rasa penasaran yang semakin membuncah parah membuatku bergerak membuka layar ponsel kembali. Dari daftar nomor panggilan masuk, aku mengetuk nomor terakhir untuk memanggil balik. Nada tunggu menyelusup ke gendang telinga. Tak lama kemudian nada berhenti, berganti suara gemerisik. Berarti panggilan telah terhubung.