Haydar! Kenapa aku baru teringat anak itu? Haydar pasti tahu nomor panggilan misterius itu dari siapa. Ah, aku lupa. Saat itu Haydar bilang bahwa ia juga kehilangan kontak dengan Ibo, setelah mendengar lelaki itu diburu musuh, juga buronan polisi.
Duh, Ibo. Ada apa sebenarnya dengan diriku? Kupikir masa itu sudah lewat dan kamu akan memulai kehidupanmu dengan tenang dan bahagia. Ternyata tak semudah itu jika sudah berhubungan dengan kawanan mafia. Membuat masalah sedikit saja, nyawa taruhannya. Apalagi kasus seperti Ibo. Ia terus diburu selama masih terlihat berkelana di dunia ini. Segelap itukah kehidupanmu, wahai, lelaki baik di mataku?
Namun, rasa penasaranku belum tuntas bila belum mendapatkan jawaban. Aku meraih ponsel, untuk menghubungi Haydar. Tak perlu menunggu lama, sambungan langsung terhubung.
“Assalamualaikum, Teteh. Apa kabar?” Haydar menyambut lebih dulu.
“Waalaikumsalam, Idar. Teteh baik-baik aja, Alhamdulillah. Kuharap kamu juga sehat dan baik-baik.”
“Alhamdulillah, Teh. Bahkan aku lagi siapkan foto preweding nih. Cuma lagi bingung cari tempat buat foto-foto. Beberapa tempat yang bagus dijadikan spot, masih banyak yang tutup karena pandemi.”
“Eh, syukurlah. Teteh bahagia mendengarnya. Sebentar lagi akan dapet adik ipar cantik!” ujarku turut bahagia mendengar rencana Haydar.” Eh, gimana kalau ke sini aja. Foto-foto di perkebunan teh kan bagus tuh!”
“Oh, ide bagus tuh! Nanti kubicarakan dengan fotografernya, Teh. Mudah-mudahan ia setuju.”
“Ngomong-ngomong, kamu sudah dapet kabar lagi dari Ibo?” tanyaku memancing keterangan mengenai orang yang sudah merebut hatiku. Ya, maksud aku menghubungi Haydar justru ini intinya.
“Maaf, Teh. Aku nggak tahu lagi kabar Ibo. Tapi beberapa hari ini ada satu nomor panggilan masuk dari Turki. Tapi tak ada di nomor kontakku. Kupikir itu dari teman kuliah, tetapi setiap diangkat, tak pernah bicara.”
“Sebentar, sebentar, Idar! Kamu bilang ada nomor panggilan tak dikenal, tapi nggak mau ngomong?” tanyaku memotong pembicaraan. Aku kaget tentunya mendengar penuturan Haydar mirip dengan yang kualami kini.
“Iya, Teh. Betul. Aku ngerasa ada yang aneh, karena nggak hanya sekali panggilan itu masuk.”
“Persis. Itu yang sebenarnya ingin Teteh tajyakan sama kamu.”
“Lho, memangnya Teteh dapat juga? Nanti kirim nomornya, ya, Teh. Aku mau lihat, sama apa enggak?”
“Baiklah, Idar. Lalu apa tindakan kita dengan nomor misterius itu?” tanyaku meminta pendapat Haydar menanggapi hal yang mengganggu pikiran itu.
“Gini aja, Teh. Aku takut itu bukan Ibo, tapi pihak yang ingin mengetahui keberadaan Ibo. Bisa saja nereka memata-matai kita agar mereka mendapat informasi,” sarannya membuat aku semakin tegang.