Sebuah mobil Avanza memasuki pekarangan warung. Kendaraan itu tentu yang membawa anak dan orang tuaku ke tempat ini. Aku berlari ke luar menyambut mereka dengan haru yang tiba-tiba menyesak.
Ayah-ibuku keluar membuka pintu. Senyuman merekah menguar rindu tertuju padaku. Lalu, sepasang kaki mungil bersandal jepit motif kupu-kupu keluar dari mobil. Wajah bulat dengan mata berbinar menampilkan senyuman, manis sekali. Aku terhenyak. Aku tak percaya gadis kecil itu anakku. Meski hampir setiap hari berhubungan dalam panggulan video, tetapi rasanya lain. Pangling sekali, padahal baru beberapa bulan tak bertemu muka secara nyata.
“Dinda!” seruku.
“Bun-da!” sahutnya memanggilku dengan jelas. Ah, Dinda semakin pintar dan lancar berbicara. Ini berkat kegigihan ayah dan ibuku dalam merawat cucunya.
Aku merangkul putriku yang masih melengkungkan bibirnya. Ah, seandainya Daffa masih ada, bahagiaku pasti berlipat. Air mata sudah tak bisa diajak kompromi. Aku tak bisa melawan arusnya. Deras sekali, tapi aku bahagia.
Setelah memeluk kedua orang tuaku, aku mengajak mereka ke dalam.
“Mana Mien?” tanya Ibu sambil menengok kanan kiri.
“Katanya tadi ke kebun, tapi jam segini belum pulang juga. Nggak tahu ia ke mana dulu,” jawabku seraya menyajikan minuman hangat untuk tamu agungku.
“Bukannya dia sudah nggak metik lagi?” tanya Ayah tampak heran.
“Iya, Bu Mien memang sudah nggak ikut metik pucuk teh lagi. Dia hanya jalan-jalan, gerakin badan. Biasanya satu putaran di dekat pabrik, langsung pulang,” jelasku mencoba menghentikan kekhawatiran orang tuanya.
Sejak terkena gejala hipertensi, Bu Mien memang sudah tak diizinkan metik oleh ayah-ibuku. Mereka takut Bu Mien terjatuh dan fatal akibatnya. Sejak aku membuka warung, ia hanya boleh membantu alakadarnya karena ada pegawai yang membantuku. Sekarang, ia membantu menjemur bahan herbal dan membungkusnya. Hasilnya, cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi, dasarnya ia pekerja keras, tak bisa diam, ada saja yang dikerjakannya meski sudah kularang.
“Jangan biarkan jalan sendiri. Kasihan, sudah tua. Sudah saatnya dia istirahat menikmati masa tuanya,” ujar Ayah mengingatkan.
Mendengar perkataannya, pipiku seperti tertampar. Bagaimanapun, Bu Mienlah yang bekerja untukku dari aku kecil hingga kini. Aku banyak merepotkan dengan melibatkannya dalam semua masalahku. Bukan hanya tenaganya, tetapi pikiran dan perhatiannya. Di samping tentang Bu Mien, aku juga seolah tersindir dengan ucapan ayahku. Secara, hingga kini aku masih merepotkan mereka dengan merawat Dinda, meskipun mereka melakukannya dengan suka hati. Aku tak bisa membalas apa yang mereka perbuat untukku. Hanya doa yang selalu kupanjatkan untuk orang-orang terkasih. Biarlah Tuhan yang layak membalas semua kebaikannya.
Saat aku di dapur menyiapkan makanan untuk makan siang, Bu Mien baru terlihat batang hidungnya. Ia tergopoh-gopoh menemui ayah dan ibuku, juga Dinda.