[Teh, aku mau menikah. Kuharap, Teteh mau hadir di acara akad nanti.]
[Aku mohon, datanglah!]
[Alamat lengkap lokasi acara aku kirim kemudian]
Pesan dari Haydar seminggu lalu masih kusimpan. Aku bingung untuk menunaikan permintaan Haydar, karena sudah janji sejak lama untuk datang jika ia menikah. Bisa saja aku meminta Yudha untuk mengantar seperti pada undangan pernikahan Kinanti. Namun entah mengapa, kali ini aku ingin berangkat, tapi sendiri. Tanpa Yudha yang baru-baru ini selalu protektif, ingin mendampingiku ke mana pun. Harusnya aku merasa aman punya pendamping, tetapi justru aku merasa risih.
“Kang, besok aku mau ke Bandung sama Dinda,” kataku meminta izin secara tidak langsung. Semestinya, aku tak perlu meminta izin karena ia belum menjadi suamiku. Tetapi, aku menghargai dia sebagai tunanganku. Apalagi sikapnya yang semakin hari semakin memperlihatkan sifatnya yang posesif. Aku akan memberi alasan ke rumah Ayah, agar ia tak banyak tanya.
Bukan hanya Yudha yang posesif terhadap diriku, tetapi juga Bu Mien. Semenjak aku bertunangan dengan Yudha, ia makin menujukkan ketakutan jika aku bergaul dengan laki-laki lain. Jangankan yang sengaja mendekati, kurir atau pelanggan pun dicurigainya.
“Ada apa? Ayah dan Ibu baik-baik aja, kan?” tanyanya menyelidik.
“Nggak ada apa-apa, hanya kangen aja,” jawabku ketus.
“Kan bisa lewat video call? Lagian masih pandemi. Masih tinggi risiko tertular di perjalanan.”
“Mereka ingin ketemu Dinda. Aku juga bisa jaga diri, Kang!”
“Ya sudah, besok Akang antar sekalian ke bank.”
“Aku nginep, lho. Hanya semalam, biar Dinda nggak capek,”
“Nggak apa-apa. Akang antar sampai rumah. Dinda nanti dibawa lagi ke Ciwidey, kan?”
Aku mengangguk, percuma membantah.
Untung saja Bu Mien tak berkepanjangan mengintrogasi ketika kubilang Yudha akan mengantar aku dan Dinda. Ah, rasanya aku seperti anak perawan baru mengenal pergaulan.
Kami berangkat ke Bandung setelah Yudha menyelesaikan tugasnya mengawasi para pemetik serta hasil petikan. Sehabis itu, ia memerintahkan beberapa anak buahnya untuk menyelesaikan pekerjaan selanjutnya. Aku dan Dinda menunggu sambil mengawasi kesibukan lelaki itu di mobil pick up milikku yang terparkir di warung. Tak lama, Yudha mendekat sambil melambaikan tangan kepada kami.
“Kenapa nggak pakai mobil kantorku saja? Kan Akang sekalian ke bank, masih tugas perusahaan,” tanyanya sambil masuk dan duduk di belakang setir.
“Nggak apa-apa, kan bisa dibawa lagi nanti pulangnya.”
“Baiklah, kalau begitu. Besok Akang jemput jam berapa?”