“Maafkan, aku sudah lancang memelukmu. Aku tak bisa menahan diri,” ucapnya oenih sesal. Wajahku memanas karena malu bercampur kesal. Kesal pada diri sendiri karena tak menolak saat Ibo memeluknya. Ya, aku tak menampik bahwa perasaan itu tak beda dengan yang kurasakan juga. Namun, aku pura-pura tak peduli.
“Kenapa kamu bisa berada di sini? Apa aku bermimpi?” ucapku, mengalihkan topik. Aku pun masih tak mempercayai semuanya yang terjadi saat ini.
“Kamu tidak sedang bermimpi, Aşkim! Ini aku, Ibo,” jawabnya sambil tersenyum menatapku. Kemudian bibirnya yang kini tak tertutup masker, bergerak perlahan dan bergetar. “Seni Özledim. Aku sangat merindukanmu.”
Aku merasakan getaran itu merasuk sukmaku. Terasa hangat, mengalir dalam peredaran darah ke seluruh tubuh, hingga sendi-sendi tulangku. Ucapannya seolah magis yang membuat aku merasa berada di awang-awang.
“Kita pergi dari sini.” Kalimat itu menyadarkan aku akan Haydar yang kami tinggalkan.
“Nggak pamit pengantin dulu?” tanyaku. Ia hanya menggeleng.
“Biar nanti kujelaskan di telepon. Kita tak boleh mengganggu hari bahagianya.”
“Kita ke mana?”
“Tunggu saja. Nanti kamu tahu sendiri.”
Ibo, sikapnya masih tak berubah. Tetap misterius dan bikin penasaran.
Ia menjalankan kendaraannya menuju arah Jakarta. Aku menahan diri untuk tak banyak bertanya. Baiklah, aku akan mengikuti apa maunya. Ia orang asing di negeri ini, dan aku harus bersiap membantunya jika dibutuhkan.
Kendaraan berhenti di sebuah hotel di wilayah Sentul. Aku mengikuti langkah Ibo yang tak melepas genggaman tangannya dari tanganku. Masuk ke sebuah suiteroom, aku mulai gentar. Bukan karena takut. Tidak, aku tak takut jika Ibo mau berbuat tidak baik kepadaku. Aku audah membuktikannya ketika tidur satu kamar di mansion milik kakeknya di Turki. Ia sangat menjagaku. Aku pun selalu merasa aman di dekatnya. Yang kutakutkan, justru karena aku baru teringat bahwa kini aku sudah menjadi calon istri Yudha!
Perasaanku langsung berkecamuk antara membiarkan aku menikmati waktuku bersama Ibo, dengan penolakan batinku. Semestinya aku menolak karena mengingat pertunanganku dengan Yudha. Sungguh merupakan perang batin. Anehnya, aku tetap membiarkan diriku tetap masuk ke area terlarang yang bisa juga jadi perangkap.
“Kamu, takut ..., hm?” ujarnya seolah bisa membaca pikiranku.
Aku tak menjawab, pura-pura melihat-lihat isi ruangan yang luas dan lengkap itu.
“Aku nggak akan mengganggu. Aku tak akan membiarkan siapa pun termasuk diriku menyakiti meski hanya segores luka di kulitmu. Aku janji.”
“Aku tahu, karena percaya padamu. Tapi, bukan itu maksudku. Aku ....”
“Menginaplah malam ini bersamaku. Besok aku antar ke rumahmu di Bandung,” ucapnya sekonyong-konyong mengagetkan.
“Enggak bisa. Aku harus pulang sore ini. Aku akan dijemput oleh tun—,”
Aku menghentikan kalimat yang hampir saja membocorkan rahasiaku ini pada Ibo. Untungnya, ia tak menyadari ucapanku. Ibo bersikukuh meminta aku menemaninya malam ini. Lelaki yang kini mencukur cambang dan kumisnya sampai klimis itu berkata, ada banyak hal yang ingin ia sampaikan kepadaku.
Akhirnya aku mengalah. Aku segera menelepon ibuku untuk meminta izin menginap di rumah Kinanti serta menitipkan Dinda kembali. Tentu saja aku berbohong karena tak ada alasan lain. Sementara pada Yudha, aku hanya mengirim pesan untuk membatalkan jemput aku dan Dinda sore ini, seperti yang ia janjikan kemarin. Aku beralasan masih ingin berdiam di rumah orang tuaku sehari lagi. Beres.
“Sekarang ceritakan kenapa kamu tiba-tiba berada di sini, dan tidak mengabariku lebih dulu,” ujarku setelah melihat Ibo keluar dari toilet, lalu duduk di sofa tempat yang sedang kududuki di sampingnya.
Bukannya segera menjawab, ia malah tersenyum sambil menyentuh ujung hijabku.
“Kamu mau makan apa? Kita pesan makanan. Aku tahu kamu tadi makan nggak bener. Perutku pun belum terisi dari semalam. Aku lapar!” ucapnya seraya menatap lekat wajahku seakan ingin menelannya. Ia benar-benar lapar!
Kuikuti maunya dengan memesan steak, jus buah, dan makanan manis sebagai penutup.