Lagi-lagi aku menurut kala Ibo yang kini telah meminta ganti panggilan dengan Erhan,
mengantarku pulang. Bukan sekadar mengantar, karena ia pun akan pindah dari hotel, dan mencari tempat tinggal tak jauh dariku. Ia mengemasi barang-barangnya dalam satu koper. Hanya pakaian dan perlengkapan laki-laki, serta sebuah laptop.
Setelah check out, aku mengikutinya memasuki Rubicon hitam yang disewanya per bulan. Sebelum menjalankan mobilnya, Ibo meraih ponsel dari saku jaketmya. Tak kuduga, ia mencabut chip di dalamnya, kemudian membuang kartu sim nomor yang dipakainya ke luar jendela. Aku terheran-heran karena kemudian lelaki itu menggantinya sengan kartu baru yang sejenis, namun terbitan provider lokal. Aku mencoba memahami tindakannya itu mungkin untuk menghilangkan jejak yang bisa terlacak.
“Mana nomormu? Aku ganti pakai kartu lokal. Bisa minta tolong simpankan?” pintanya seraya menyerahkan gawainya kepadaku.
Seketika aku teringat pertamankali bertemu dengannya di masjid Örtakoy. Saat itu, ia menyerahkan ponselnya untuk kuisi dengan nomorku dan Haydar. Persis seperti saat ini. Itu karena ia tak pernah menghafal nomor ponsel sendiri.
“Kamu bisa menyetir?” tanyanya sambil memasang kaca mata hitamnya.
Aku menggeleng. Dari dulu keinginanku untuk bisa membawa mobil sendiri, tak pernah kesampaian. Padahal, dulu Ayah mengizinkan jika aku sudah duduk di bangku kuliah. Seandainya tak terjadi peristiwa konyol itu, mungkin aku sudah mahir dan ke mana-mana bisa menyetir sendiri. Sedangkan mobil pick-up punyaku untuk keperluan warung saja, aku harus menggaji Mang Nanang sebagai sopir, atau dikendarai Yudha.
“Kalau kamu tak bisa, aku harus minta tolong GPS buat memandu perjalanan. Aku kan tak tahu arah.”
Kali ini aku paham maksudnya. Aku membantu menyetel GPS dengan memasukkan alamat di kotaku. Setelah terpasang dengan baik, ia mulai menggerakkan kendaraannya.
“Aku antar kamu ke rumah, ambil anakmu, lalu kita langsung berangkat ke tempat kamu berjualan di kebun itu. Tak jauh dari rumah orang tuamu, kan?” tanyanya memastikan langkah selanjutnya.
Aku terdiam karena masih bingung berpikir. Jika ia nekat mengantarku sampai rumah, alamat akan terjadi kekacauan. Belum lagi Yudha yang akan menjemputku sore ini setelah kemarin kubatalkan. Aku harus merencanakan sesuatu agar tak terjadi salah paham.
“Aku tak bisa lergi bersamamu. Ayah-ibuku akan curiga, begitu pun dengan tunanganku. Ia akan menjemputku sore ini,” ujarku.
Ia terlihat mengerutkan kening. Kentara sekali ia pun bingung dengan keadaan yang kuhadapi ini.
"Ok, tamam, tamam. I see! Aku akan mengikutimu dari belakang.” Akhirnya, ia mau memahami.
“Sampai di sana, kamu mau menginap di mana? Banyak hotel di dekat tempat wisata dekat perkebunan. Nanti kamu pilih saja, terus kabari aku.”