Hatiku kian terikat tatkala Ibo atau Erhan sesekali mengunjungi warungku. Ia sengaja datang untuk ngopi atau makan. Padahal aku tahu itu hanya dijadikan alasan karena sebetulnya kebutuhan makan dan keperluan sehari-harinya, sudah dipercayakan kepada Pak Ucup. Penjaga vila itu, kini tinggal bersama Ibo dan membantu segala urusannya.
Tentu saja semua orang di warungku, kalau Ibo kebetulan datang, selalu menjadi pusat perhatian. Tampang dan penampilannya sudah berbeda dari kebanyakan. Awalnya mereka bertanya-tanya mengenai lelaki asing ini. Namun, lama-lama mereka tahu dan terbiasa melihatnya duduk berlama-lama di sudut warungku. Untungnya mereka hanya tahu bahwa ia adalah penghuni baru Vila Merah. Dan aku berpura-pura tak mengenal tamuku itu sebelumnya.
Yang kebakaran jenggot justru Yudha. Ia beberap kali memergoki Ibo sedang mengajakku bicara. Ia tentunya cemburu dan merasa tersaingi ketampanannya. Sebaliknya, jika Yudha datang dan dekat-dekat denganku, Ibo yang akan hengkang kaki meninggalkanku.
Mumet! Itu yang kurasakan dari hari ke hari. Inilah risiko jika hati mendua. Apalagi saat Yudha mendesak dengan pertanyaan 'kapan kita menikah?’, atau Ibo yang terus menggelitik agar aku membatalkan pertunanganku dengan Yudha. Ia berjanji akan menikahi diriku segera.
Siang ini aku terkejut ketika di depanku berdiri sosok yang dulu kerbah kucintai kemudian kubenci setengah mati. Alfian. Mantan suami namun masih dan tetap saudara sepupuku. Terlihat dari wahahnya yang tegang dan memerah, ia sedang memendam amarah. Aku masih ingat tabiatnya itu. Akan tetapi, aku belum tahu permasalahannya.
“Aa, ada apa tiba-tiba menyusul ke sini?” tanyaku masih dengan perasaan kaget.
“Ada apa, ada apa ...! Kamu sadar nggak, apa yang sudah kamu lakukan? Dasar tak punya hati, tak punya perasaan! Kamu diam-diam menjauhkan aku dengan anakku, karena kamu mau menikah lagi!” serunya dengan geram.
“A, aku nggak bermaksud begitu. Dinda memang kubawa ke sini karena ia sedang tak bersekolah tatap muka. Jadi apa salahnya jika kubawa ke sini biar bisa kuurus. Masalahmu apa?” jelasku tak kalah sewot.
“Tidak! Kamu memang punya niat merebut Dinda. Aku tak boleh lagi menengok anakku sendiri. Kamu keterlaluan!” tunjuknya semakin memancing emosiku.
“Terus, maumu apa? Kan gampang saja kalau memang kamu mau nengok anakmu? Aku tak lagi mempersulit!”
“Nggak, Vanna. Maksudku, kamu nggak boleh menikah dengan orang lain. Kamu harus menikah denganku! Dinda tak akan kuizinkan ikut denganmu kalau kamu menikah dengan orang lain!” protesnya.
Saat itu, kebetulan Yudha datang bersamaan dengan Ibo yang sama-sama terpaku melihatku bertengkar dengan Fian.
Yudha refleks mendekatiku, lalu beradu mulut dengan Fian untuk membelaku. Sementara Ibo masih berdiri mengawasi kami.
Di tengah sengitnya beradu mulut, Yudha tak bisa menahan tinjunya yang begitu saja melayang ke muka Fian. Fian terjerembab, lalu mengusap darah yang keluar dari hidungnya. Tangan Yudha yang kasar dan berotot, tentu saja kalah jika dibandingkan tubuh Fian yang kini menjadi tinggi kurus.
Kudengar, Fian masih mengumpat sambil menunjuk-nunjuk Yudha agar menjauhi diriku. Akhirnya, Fian bangkit dan beranjak meninggalkanku.
Ketika aku tersadar akan kehadiran Ibo, aku justru tak melihatnya lagi di tempat tadi berdiri. Entah ke mana ia pergi. Mungkinkah ia pun ikut marah dengan kedatangan ayahnya Dinda?
Pikiranku tentang Ibo langsung terputus saat Yudha menegurku. Ia agak ketus menanyakan Fian bisa sampai menyusul Dinda ke tempat ini. Kentara sekali ia mencemburui mantan suamiku itu. Aku yang masih merasa syok, tak mau berkepanjangan. Kembali ke dapur, kubiarkan ia menggerutu sendiri, menghujat Fian.
“Neng! Dinda, Neng!” seru Bu Mien dari kejauhan. Ia berjalan tergesa disertai wajah yang terlihat panik, dari arah rumahnya.