Sebagai mantan mafia, lelaki yang membelakangiku itu aku percaya memiliki insting yang kuat dan terlatih. Buktinya, ia langsung menyadari ada seseorang yang mengawasinya di belakang. Ia menoleh lalu mengembangkan senyuman ke arahku. Padahal aku berjalan cukup berhati-hati agar tak menimbulkan suara.
“Mau gabung?” tanyanya singkat. Aku menggeleng. Aku sudah puas dengan hanya memandangi mereka bermain bersama.
“Bun-da!” seru Dinda saat mengetahui kehadiranku. Matanya berbinar bahagia.
“Ya, Sayang! Bermainlah! Bunda di sini!” jawabku.
Setelah cukup pias bermain panah, Ibo menghidangkan sup krim ayam dan roti gandum untuk Dinda. Kupikir, Ibo lebih memahami jenis makanan apa yang aman dikonsumsi Dinda. Lagi-lagi, aku kagum padanya.
“Bagaimana bisa kamu merebut Dinda dari mantan suamiku?” tanyaku ketika ia memberikan secangkir kopi untukku.
“Kamu ingat sewaktu aku di warungmu, saat dia pergi?” tanyanya. Aku langsung teringat saat itu Ibo datang hampir bersamaan dwngan Yudha, namun tak jadi masuk. Setelah Fian pergi, aku tak memang melihatnya lagi.
“Aku ikutin mantan kamu itu menuju rumah Bu Mien. Aku curiga ia akan ambil Dinda. Dan memang betul, kulihat dia bawa masuk Dinda ke mobilnya. Lalu aku mengikutinya. Sampai di perjalanan, aku salip mobilnya, lalu kurebut Dinda. Dia sempat melawan tapi kutonjok dia sampai tersungkur ke pegangan stir,” lanjutnya.
“Terus, setelah itu apa yang terjadi?” tanyaku penasaran.
“Aku tak tahu ia mengenaliku atau tidak. Mungkin dia akan melapor ke polisi, dan itu akan jadi masalah buatku,” jawabnya, masih berbicara dengan tenang. Seharusnya ia panik atau ketakutan jika Fian memang akan melaporkannya dengan kasus penculikan.
“Jadi, kita harus bagaimana?” Kini, justru aku yang merasa panik. Aku tak sanggup membayangkan jika Ibo menjadi tersangka, padahal posisinya ia sedang melakukan penyamaran. Aku takut identitas palsunya terbongkar. Entah apa nanti yang akan dilakukan polisi sebagai sanksi. Ah, mudah-mudahan saja semua itu tak akan terjadi.
Aku bersiap-siap untuk pulang membawa Dinda ke tempatku. Namun, tak kuduga Dinda tak mau kuajak pergi. Ia menahan kuat duduknya hingga melekat ke sofa saat aku menarik tubuhnya. Meski tak bicara, aku paham bahwa ia menolak kuajak pulang.
Saat itu aku pun kebingungan harus menjawab apa ketika ponsel terus berbunyi dari Yudha, Bu Mien, bahkan dari ayahku. Sudah pasti mereka menunggu kabar tentang Dinda.
“Biarkan Dinda bermalam di sini. Dia kelihatannya masih betah bersamaku. Jangan khawatir, aku bisa menjaganya,” ujarnya sambil mengelap mulut Dinda yang belepotan krim sup dengan tisu.
“Tapi apa alasanku jika aku pulang tak membawa anakku?” keluhku.
“Ya, sudah. Kamu ikut saja menginap di sini sampai Dinda mau pulang,” jawabnya dengan enteng.
Sambil menemukan solusi, aku menjawab panggilan mereka satu per satu untuk menjelaskan keadaan Dinda. Kukatakan bahwa Dinda baik-baik saja bersamaku di suatu tempat. Mereka mengerti dan bersyukur Dinda sudah ditemukan. Kecuali, Yudha yang tampak sekali mencemburui ayah Dinda, yang dia kira masih bersama kami. Ah, sudahlah. Biarlah ia sibuk dengan berpraduga sendiri.
Malam itu, aku terpaksa menuruti keinginan—entah—Ibo atau Dinda untuk menginap di Vila Merah. Setelah puas bermain dan terlihat lelah, Dinda tertidur di pangkuan Ibo. Tubuh mungil itu begitu mudahnya diangkat Ibo untuk dipindahkan ke tempat tidur.