Berita tentang kasus penculikan Dinda sudah didengar ayah-ibuku. Mereka sangat menyesalkan perbuatan mantan menantu yang juga keponakannya itu. Namun, mereka lebih menyesali perbuatanku dengan Ibo. Orang tuaku mengira aku sudah berlaku tidak baik sehingga akan mencoreng lagi muka keduanya.
Aku sudah berusaha meyakinkan dengan menjelaskan apa adanya. Mereka mau memahami, meski masih tetap waswas.
Sebalnya, orang tuaku menurut saja ketika Bu Mien menyarankan agar pernikahanku dengan Yudha secepatnya dilangsungkan, agar tidak terjadi fitnah.
Aku jelas menolak sarannya. Perasaanku semakin tak bisa menerima lelaki posesif itu di kehidupanku. Belum terikat pernikahan saja ia sudah menampakkan tabiatnya yang keras dan tak mau dibantah, apalagi nanti.
Beberapa kali aku berdebat tentang rencana pernikahan itu dengan Yudha. Di depanku, ia berani berbicara banyak. Kupikir ia sedikit melonggar, agar tak membuatku tertekan. Namun berlainan di belakangku, terutama dengan Bu Mien yang dari awal mendukung sepenuhnya hubungan kami hingga ke pelaminan.
“Neng, model baju pengantinnya mau dilihat lagi, nggak? Ukurannya juga harus dipasin lagi kata Zus Ely, perancang kebaya pengantin itu,” ujar Bu Mien memancing kembali emosiku.
Seandainya tak melihat ia adalah orang tuaku, rasanya ingin sekali kubentak agar mulutnya diam dan tak usah mencampuri. Aku hanya menarik napas untuk menekan rasa yang mulai bergejolak.
Kotak nasi kosong yang baru kususun untuk pesanan nanti sore, kutaruh dengan kasar di meja dapur. Wati dan Ani, pegawaiku, tampak kaget. Namun mereka kembali melanjutkan menggoreng ayam dan ikan yang sedang dikerjakannya. Aku beralih menghadap Bu Mien yang sibuk membungkus kerupuk sebagai pelengkap nasi kotak.
“Bu, aku kan belum memesan dan belum mengatakan apa-apa sama tukang jahit kebaya itu,” ucapku dengan menegaskan suara.
“Tapi Pak Yudha sudah membayarnya duluan sekalian dengan setelan jasnya yang nanti buat dipakai.”
“Memangnya kapan, sih acaranya? Kok aku pengantinya sendiri nggak dikasih tahu?” tanyaku dengan suara meninggi.
“Lah, pan Den Surya ayah Neng, sama Ibunya Pak Yudha sudah sepakat awal bulan depan. Maulud itu bulan bagus buat nikah, Neng!” jawab Bu Mien tanpa merasa bersalah dengan ucapannya.
“Bu, sebenarnya siapa sih yang menggebu-gebu pengen nikah? Kulihat Bu Mien ini sibuk sekali mengurusi ke sana ke mari?” sindirku langsung kepada Bu Mien.
“Haar... ari Eneng? Kenapa pakai nanya ke saya? Pan saya mah bantu urus-urus biar semuanya lancar dan selamat!” selanya sambil bersungut. “Masa saya yang mau nikah? Malu atuh sudah tua begini. Lagian mana ada yang mau nikahin saya atuh, Neng!”
“Bu, Bu Mien kan tahu aku belum mau diikat. Aku masih ingin bebas ngurus Dinda, nyari uang, bahagiakan orang tua ....”
“Ah, Eneng mah bukan nggak mau, tapi gara-gara ada si Bule brewok itu Neng jadi berubah. Saya sih, kasihan sama Pak Yudha yang jelas-jelas mencintai Neng, baik, dan berbakti sama orang tua,” tukasnya membuat aku terdiam karena sudah habis kesabaran.
Perempuan tua itu bukannya berhenti berbicara, tetapi malah terus menasihati. Ia bahkan terang-terangan akan melarang aku bertemu Erhan. Kalaupun Erhan yang datang ke warung, ia tak segan mengusirnya. Memang sejak aku tinggal bersamanya, ia jadi jauh lebih galak dan protektif dibanding Ayah dan Ibu. Ia sudah tak merasa aku ini majikannya lagi, tetapi anaknya. Dan aku lebih memilih diam daripada membangkang. Percuma, semakin berumur, ia semakin keras kepala.
Pesanan nasi kotak untuk acara gathering di salah satu vila, sudah diantar kurir. Saat ini aku membutuhkan penyegaran untuk tubuhku yang letih, serta otakku yang mumet. Entah mengapa niatku tersambung dengan Dinda yang datang dengan wajah gelisah. Ia menarik-narik tangan dan kemejaku sambil menunjuk-nunjuk ke gerbang area perkebunan. Kalau sudah begitu, biasanya ia ingin ke luar dari rumah atau warung. Baginya, ke mana lagi jika bukan ke Vila Merah.
Langkahku terseret dipaksa mengikuti arah langkah Dinda. Repot memang kalau punya kemauan, mau tak mau harus dituruti. Kalau tidak, sudah pasti Dinda akan mengeluarkan jurus mautnya, yaitu tantrum. Ia seakan tahu kalau bundanya tak akan tega membiarkan ia mengamuk, apalagi di tempat umum. Kini, ia punya keasyikan baru, yaitu memanah di tempat Ibo.
“Neng! Ka mana, geus sore?” Langkahku terhenti mendengar teriakan Bu Mien. Namun, karena Dinda tak mau berhenti menarik tanganku, aku mengacuhkan wanita bermantel rajut itu. Aku cukup menunjuk ke suatu arah, lalu melambaikan tangan kepadanya. Kentara sekali ia kesal dan kecewa atas tindakanku.
Aku menumpang ojek di pangkalan. Dinda ceria sekali saat berhenti lalu turun di depan vila. Aki berjalan santai mengikuti Dinda dari belakang. Seorang lelaki tua menyambutnya dengan hangat. Ia Pak Ucup.
“Aeh, Neng Dinda? Ke mana saja Eneng teh? Lama nggak ke mari,” sambutnya dengan ramah, meski tak dihiraukan oleh Dinda. Untungnya lelaki itu sudah tahu kondisi Dinda, jadi memakluminya.
“Kami sibuk diwarung, Pak. Banyak pesanan makan dan herbal!” jawabku mewakili Dinda yang sudah berlari masuk rumah.
“Mari, Neng. Den Erhan ada di dalam lagi di depan komputer lipatnya,” ijar Pak Ucup mempersilakan aku masuk.
Di dalam, tampak Ibo sedang duduk di meja depan laptop. Si pangkuannya, Dinda sudah duduk dengan akrabnya. Aku terpaku sesaat melihat pemandangan memyekukan mata itu. Selama hidup berumah tangga dengan Fian, aku tak pernah melihat anakku seperti yang sedang kunikmati kemesraannya. Hatiku langsung tersentuh sehingga air mata tak kuasa kutahan untuk menitik. Ada perasaan bahagia menyelinap di dalam dada yang berdebar-debar.