Bu Mien sedang sibuk membagi tugas kepada para pegawai untuk membereskan warung makan. Tempat itu yang akan dijadikan tempat dilangsungkannya acara pernikahan. Kesibukan persiapan sudah mulai tampak di sana sini.
Para lelaki yang biasa merawat tanaman teh, sengaja dipanggil Bu Mien untuk membantu menurunkan kursi-kursi dan tenda dari mobil pick-up. Dari belakang rumah, aku menuntun Dinda sambil menggeret koper. Semalam, aku sudah bulat meninggalkan tempat ini. Dengan begitu, pernikahan sudah pasti dibatalkan, karena pengantin wanitanya kabur.
Ketika melewati gerbang, aku mengendap-endap agar tak diketahui orang-orang. Di luar gerbang perkebunan aku sembunyi untuk menanti mobil tukang tenda. Niatku, aku akan mencegat kendaraan itu untuk menumpang hingga terminal bis. Dari terminal, aku akan melanjutkan perjalanan dengan naik bis menuju Bandung.
Untungnya, tak sampai menunggu lama, mobil sudah terlihat ke luar gerbang. Buru-buru aku berdiri sambil melambai-lambaikan tangan. Mobil pun menepi untuk berhenti.
“Kang, punten! Boleh numpang sampai terminal?” pintaku kepada sopir.
Sopir yang dibantu dua pengangkut barang itu menyuruh mereka pindah ke bak belakang mobil. Lalu ia mempersilakan aku dan Dinda duduk di depan. Sementara koper kunaikkan di belakang bersama dua orang tadi.
“Memangnya, Eneng mau ke mana?” tanyanya seraya meneliti aku dan Dinda.
“Mau ke Bandung, tapi nggak ada bis yang biasa lewat dari Pangalengan. Makanya saya beranikan diri numpang sama Akang,” jawabku.
“Nggak apa-apa atuh, Neng. Diantar sampai Bandung saja, boleh!” ujarnya sambil tertawa menggoda. Timbul rasa waswas karena takut jika mereka akan berniat jahat padaku dan Dinda. Namun, dugaanku salah. Ia hanya merasa kasihan pada Dinda.
“Kalau boleh tahu, Eneng ini dari mana? Kok bisa ada di tempat sunyi begini? Apa nggak takut?” tanyanya kembali.
“Saya dari rumah saudara di perkebunan.” Aku menjawabnya asal keluar dari mulut.