Hujan deras semalam melanda hati sang gadis, pemilik mata indah yang kini telah membengkak. Warna bening di mata seterang bintang itu, kini berubah merah. Sisa-sisa gerimis di hatinya masih terlalu dingin. Hujan semalaman membuatnya rapuh.
Tidak hanya Zia yang merasakan getirnya janji. Surya dan Farida pun demikian. Semalaman suami-istri itu tidak bisa tidur nyenyak. Mereka memikirkan betapa terlukanya hati sang putri.
Namun, bagaimanapun juga, Farida harus bangun lebih awal. Dia akan mensuport putri semata wayangnya itu dengan kalimat doa dan kalimat mutiara mujarabnya seperti biasa.
Usai mandi dan menyiapkan sarapan pagi, Farida mengetuk pintu kamar putrinya. "Zia? Zia Sayang? Bangun, Nak?"
Tidak terdengar sahutan. Diketuknya lagi pintu tersebut dan dipanggilnya putrinya agar bangun. Namun, nihil. Tetap tidak ada jawaban.
Karena cemas, Farida pun segera masuk ke kamar Zia. Ditatapnya tubuh terbungkus selimut di atas kasur. Farida berjalan menghampiri, lalu duduk di sisi Zia. Disentuhnya pundak Zia. "Sayang, sudah pagi, Nak?"
Zianna tetap tidak menyahut.
"Ibu mengerti perasaanmu, Sayang. Kamu pasti masih sangat terpukul karena perbuatan Rifky. Ibu juga, sangat kecewa pada Rifky. Akan tetapi, kita juga, kan, belum tahu pasti alasan mengapa Rifky tidak jadi datang."
Farida menyingkap selimut yang menutupi kepala Zia. Gadis itu meringkuk di bawah selimut. Bibirnya gemetaran. Wajah Zia tampak sangat pucat. Farida langsung panik, disentuhnya kening putrinya. "Ya Allah, Zia, kamu demam?"
Farida segera beranjak dari kamar Zia. Ia mencari suaminya, untuk memberitahu bahwa Zia sakit. Farida pun mendapati Surya yang sedang duduk di sofa sembari menyeruput teh hangatnya.
"Pah, Zia sakit."
"Apa? Zia sakit?" Surya terkejut mendengar penuturan istrinya.
"Iya, Pah. Zia demam. Ayo kita periksakan Zia ke dokter."
Mereka berdua bergegas menuju kamar Zianna. Farida mengajak Zia untuk periksa ke dokter, tetapi Zia tidak mau. Akhirnya, Surya pun memutuskan untuk mengundang seorang dokter ke rumahnya untuk memeriksa Zia.
***
Setengah jam kemudian, sebuah mobil memasuki halaman rumah Zianna. Seorang lelaki berpakaian jas dokter turun dari mobil tersebut. Lelaki itu tampak masih sangat muda. Dia tampan dan keren. Ia berjalan menuju pintu rumah Zia, kemudian dokter ganteng itu mengetuk pintu.
Farida yang membukakan pintu.
"Eh, Nak Doni sudah datang. Ayo masuk!" Menyambut dengan senyum ramahnya.