Mendengar cerita Surya-papanya Zianna-sesungguhnya Doni merasa sangat prihatin. Ia masih ingin menemani kepedihan hati Zia. Akan tetapi, Doni sadar bahwa saat ini Zia butuh banyak istirahat. Termasuk mengistirahatkan hatinya. Akhirnya, dokter muda itu pun pamit.
Hari semakin siang, bertambah sinar mentari yang terang. Namun, teriknya tiada mampu menghangatkan hati Zianna yang tengah dilanda hujan.
Seperginya Dokter Doni, Zianna kembali merasakan sepi. Rasa sakit akibat dikhianati janji terus menikamnya. Meski sebenarnya, ia belum tahu, apa alasan Rifky tidak datang.
***
Jam menunjukkan pukul 15.00 WIB.
Zianna meletakkan handphone-nya di nakas. Ia baru saja membalas pesan teman-temannya di grup yang terdiri hanya empat orang itu. Yaitu dirinya dan ketiga sahabatnya. Meski hanya empat orang, tetapi ramainya ampun, deh. Berasa seratus orang, wkwk.
Teman-temannya yang super kepo terus saja menanyakan kepada Zia tentang pertunangannya semalam. Zia pun akhirnya mengatakan, bahwa Rifky tidak jadi datang dan dirinya kini sedang kurang fit.
Ya, semalam memang tidak ada drama pertukaran cincin. Yang ada hanyalah sebuah penantian tak berujung kepastian.
Zia yang merasa tubuhnya sudah mulai fit, beranjak dari tempat tidur. Ia ingin mencari udara segar.
"Zia, Sayang, kau mau ke mana?" Farida yang baru masuk ke kamarnya langsung terkejut melihat putrinya beranjak dari ranjang. "Jangan angin-anginan dulu, Nak. Tidurlah, istirahatkan badanmu!" Farida menyentuh lengan putrinya.
"Mama, Zia capek tiduran terus. Zia mau jalan-jalan sebentar ke taman belakang."
"Eh, jangan. Nanti kamu masuk angin. Demammu baru saja turun, Zia." Farida tetep kekeuh melarang putrinya keluar.
Zianna yang patuh, akhirnya kembali ke ranjangnya. Ia pun duduk, bersandar di kepala ranjang. Farida turut duduk di tepi ranjang.
"Zia, yang sabar, ya, Nak." Farida menyentuh lembut punggung tangan putrinya. "Apa kamu sudah menghubungi Rifky lagi? Apa sudah ada balasan dari Rifky?"
Zianna menggeleng pelan.
"Ya, sudah. Kita tunggu kepastian dan penjelasan dari Rifky dulu, jangan terburu-buru mengambil kesimpulan. Itu tidak baik." Tersenyum, menenangkan hati putrinya.
Zianna hanya membalas mamanya dengan senyuman.
"Tidak usah dengarkan itu Mamahmu. Jelas-jelas Rifky sudah ingkar janji, masih saja berharap. Lelaki macam Rifky itu tidak usah ditunggu lagi! Biarkan dia pergi ke ujung dunia!" Surya yang baru masuk ke kamar Zia, tiba-tiba menyahut.
Farida berdiri, berniat menahan suaminya untuk masuk. Dia tahu, perkataan suaminya hanya akan membuat putrinya semakin sedih. "Papah, jangan suka suudzon, deh. Yuk, keluar. Biarkan Zia menenangkan hati dan pikiran."
"Ah, Mamah. Terlalu sabar juga, kan, enggak enak, Mah."
"Enak. Papah jangan suka mengambil kesimpulan di awal. Tidak baik."
"Iya, Bu Psikolog?" goda Surya.
Farida mencubit pinggang suaminya. "Apaan, sih, Pah?"
Akhirnya, Farida berhasil membawa suaminya keluar dari kamar Zianna. Zianna pun tersenyum melihat tingkah kedua orang tuanya yang selalu harmonis.
***
Satu jam kemudian.
Terdengar suara pintu diketuk. Bi Ratri yang membukakan pintu.