"Duh, kenapa sih hari masuk harus cepat banget sampainya?"
Sambil berusaha mematikan alarm handphone-nya, Leo bangkit dari kasurnya dengan malas. Hari ini adalah hari pertama kuliah berjalan normal kembali. Leo dengan tidak niat berusaha bangun dari kantuknya itu. Walaupun ia sudah mengatur alarm handphone-nya dari jam enam pagi, dengan interval alarm setiap sepuluh menit, Leo baru terbangun saat jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Leo kemudian bersiap-siap untuk pergi menuju kampusnya.
“Statistika jam delapan. Terus lanjut kimia anorganik 1 jam sepuluh. Istirahat jam setengah satu, lanjut lagi kimia organik 1 jam dua siang sampai setengah lima sore. Ini yang bikin jadwal mau ngebunuh mahasiswa kali ya,” omel Leo saat mengecek jadwalnya kembali. Mata kuliah yang disebutkan oleh Leo itu cukup berat untuk dipelajari oleh mahasiswa kimia. Materinya cukup banyak dan memerlukan pemahaman yang cukup baik. Lalu, ketiga mata kuliah itu disatukan dalam satu hari yang sama, di hari Senin pula. Leo pun merasa kesal karena hari Seninnya begitu horor, berbeda jauh jika dibandingkan saat ia masih memperoleh jadwal impiannya, Setelah menarik napasnya dengan berat, Leo bersiap untuk menjalani semester tiga-nya ini.
Leo termasuk anak yang biasa-biasa saja di jurusannya. Tidak famous, tidak terlalu pintar, dan juga tidak mempunyai geng. So-so jika dilihat dari sisi pertemanan. Karena itu, Leo tidak terlalu memusingkan urusan pertemanan. Cukup dirinya sendiri yang Leo pusingkan karena Leo sudah tidak yakin apakah semester ini akan berjalan lancar atau tidak.
*****
Leo memasuki kelasnya dengan rasa yang malas. Terlihat beberapa anak sudah antusias membahas materi kelas di kursi depan. Ada juga yang sudah meminjam buku dari perpustakaan dan sedang belajar di salah satu pojok kelas. Ambis-ambis amat dah mahasiswa, padahal pertemuan pertama kuliah aja belom dimulai, ucap Leo dalam hatinya sambil berjalan menuju kursi paling belakang. Berniat untuk mengumpulkan niat belajarnya yang sudah menguap entah ke mana.
Leo kemudian menaruh tasnya di atas meja kursinya. Karena mejanya menyatu dengan kursi dan ukuran mejanya tergolong kecil, Leo kemudian mengatur posisi agar ia bisa menenggelamkan kepalanya di atas tas dengan nyaman. Selagi mengatur posisi yang tepat, Leo melihat seorang gadis yang berjalan seperti zombie. Sama sekali tidak terlihat semangat hidup karena gadis itu berjalan dengan cara menyeretkan kakinya, seperti anak yang baru bangun namun langsung disuruh berjalan.
Leo mengenal gadis itu dengan nama Irene. Seingat Leo, Irene selalu bergerombol dengan teman-temannya yang berjumlah empat orang. Empat macan, begitu orang-orang memanggilnya, karena geng itu berjumlah empat perempuan dan mereka cukup dikenal di angkatan. Kok lemes banget ya? Sendirian pula. Kayaknya setipe ama gua nih, malas-malas kuliah, batin Leo. Irene kemudian menghempaskan dirinya di kursi samping Leo sambil menarik napas berat.
“Irene? Sendirian aja nih?” tanya Leo berniat basa-basi. Saat ini hanya mereka berdua yang berada di deretan kursi paling belakang. Leo hanya bisa berdoa semoga dosen kelas ini tidak menyuruhnya pindah ke kursi depan karena Leo sedang tidak berniat untuk mendengarkan materi kuliah hari ini.
“Hmm, Leo? Iya. Temen-temen gua di kelas yang lain terus gua ketinggalan sendiri,” jawab Irene dengan sedikit malas. Irene terlihat seperti tidak berniat untuk menjalani perkuliahan hari ini.
“Oh gitu. Lo keliatan lemas banget soalnya, kayak gak ada semangat hidup,” ucap Leo sambil sedikit tersenyum. Mencoba untuk membuat Irene bersemangat lagi.
“Gimana mau semangat coba. Gua ngajakin anak-anak yang lain buat ngumpul pada gak bisa gara-gara jadwalnya bentrok. Giliran gua bisa, mereka gak bisa. Giliran mereka bisa, gua yang gak bisa. Gara-gara servernya down, gua gak bisa ngisi KRS pas udah start. Padahal yang lain bisa semua, kan ngeselin. Jadinya gak semangat lagi gua buat kuliah,” omel Irene dengan nada kesalnya. Leo hanya mengangguk mengerti karena dirinya juga merasakan kekesalan yang sama karena tidak mendapatkan kelas yang diinginkan.
Tak lama setelah itu, datanglah seorang laki-laki berkacamata menghampiri kursi belakang. Leo mengenalnya dengan nama Ubay. Salah satu mahasiswa yang cukup pintar, tapi bukanlah yang paling pintar seangkatan. Setidaknya dia masih bisa mengajari orang lain jika ada yang bertanya mengenai materi yang belum mereka pahami.
“Ubay? Lo di kelas ini juga?” sapa Leo saat Ubay duduk di kursi sebelah Leo.
“Hai, Leo. Iya, gua kemarin lagi malas ikut war, jadinya gua ngisi KRS nya sengaja ditelatin besoknya. Habisnya semua kelas kan sama aja. Materinya sama, cuma pengajarnya aja yang beda,” ucap Ubay santai. Leo langsung menatap horor ke arah Ubay. Masalahnya, Pak Hendra sama Ibu Nita itu bagaikan langit dan bumi, anjir, kalo masalah penilaiannya. Bisa-bisanya lo bilang sama aja, omel Leo dalam hatinya. Namun, sesaat kemudian, Leo akhirnya memilih tertawa simpul menanggapi jawaban Ubay. “Kok lo duduk di belakang? Gak di depan aja gabung sama yang lain?” lanjut Leo bertanya lagi.
“Nggak ah, lagi malas belajar gua,” balas Ubay lagi sambil merapikan isi tasnya. Malas aja masih bisa di atas tiga koma lima IP-nya, gumam Leo sambil meratapi nasibnya. Saat sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing datang lagi satu gadis yang berjalan ke arah belakang. Ini kok jadi pada duduk di belakang sih? Semester kemarin perasaan malah pada milih duduk di depan, batin Leo heran. Leo mengenal anak itu dengan nama Silvia. Anak yang terhitung sans di angkatannya. Saking sans-nya, Leo mendengar gosip bahwa Silvia pernah mengumpulkan tugas di web e-learning kampusnya satu detik sebelum deadline. Kemampuan yang tentunya hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja.
“Hai, Leo, Irene, Ubay! Kok kalian keliatannya lemas semua? Kan baru hari pertama kuliah, semangat yuk,” sapa Silvia dengan semangat begitu tiba di kursi belakang dan melihat tiga manusia yang tampak tidak ada niat dalam menghadapi perkuliahan.
“Gua sama Irene malas kuliah gara-gara kalah war. Kalo Ubay emang begitu anaknya. Nah, lo emangnya gak sedih gara-gara kalah war?” jelas Leo sekaligus menanyakan mengapa Silvia masih bisa terlihat bersemangat. Penasaran mengenai alasannya.
“Sedih sih, tapi karena gua sadar itu karena salah gua, jadinya gua biasa lagi deh,” jawab Silvia sambil duduk di kursinya.
“Emang lo ngisi KRS kapan?”