“Demi apapun, ikut kelas Ibu Nita berasa kayak lagi mau dicabut nyawanya. Jantungan terus gua.”
Irene masih merasa merinding saat mengingat kejadian di mana Ibu Nita memarahi salah satu kelompok. Karena itu, mereka semua kini berada di perpustakaan, belajar kembali sehabis kelas. Mereka memilih perpustakaan karena sudah tidak ada kelas lagi setelah kelas pagi dari Ibu Nita.
“Beneran killer, anjir. Serem banget dah. Ternyata apa yang kating pada bilang itu benar ya,” tambah Silvia saat mengingat bagaimana kelas berlangsung.
“Nah, berhubung besok ibunya masih mau ngebantai kita, mending kita belajar lagi yuk,” ajak Leo. Ia masih belum bisa membayangkan jika dirinya harus berada di depan kelas, tidak bisa menjawab pertanyaan, dan diomeli dosen di hadapan satu kelas. Tentu itu akan menjadi kenangan buruknya di semester ini. Dan Leo akan semakin membenci semester ini jika hal itu benar terjadi.
*****
“Untung cuma satu kelompok ya yang maju. Bukan kelompok kita. Seenggaknya bisa napas dulu sih,” celoteh Irene senang saat kelas biokimia pada hari selanjutnya usai.
“Iya, kita gak maju. Tapi ibunya ngasih tugas. Lagi. Terus minggu depan bakal jantungan buat nungguin siapa yang dipanggil. Lagi,” balas Leo sambil menekankan kata lagi, menandakan bahwa mereka harus mengulangi perasaan deg-degan yang sama demi sebuah kelas.
“Sabtu tempat lo lagi kan?” tanya Silvia. Leo mengangguk, memberikan izin tempatnya boleh digunakan kembali untuk belajar bersama.
“Berhubung tugas buat minggu depan cuma biokimia doang, agak siangan aja ke tempat Leo. Kayak jam satu gitu?” usul Ubay. Ternyata Ubay juga menginginkan bisa menikmati Sabtu paginya dengan santai sehingga mengusulkan untuk belajarnya di siang hari saja. Keempat anak lainnya menyetujui hal itu, lalu mereka pulang untuk melanjutkan aktivitasnya masing-masing.
*****
Praktikum bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi mereka yang menyukainya. Tetapi, hari Jumat memang mempunyai auranya tersendiri. Rasa ingin segera menyelesaikan pekerjaan dan bersantai menjadi lebih besar. Sayangnya, praktikum yang harus mahasiswa jalankan terbilang cukup merepotkan.
“Dibilangin kalo lo mau manasin larutan yang ada H2S-nya tuh di lemari asam,” omel Leo kepada Silvia yang sedang mencari tempat untuk mendidihkan larutannya.
“Lo gak ngeliat tuh mahasiswa pada rebutan tempat di sana? Bisa-bisa beneran pulang jam lima ini gua kalo kek gini terus,” sanggah Silvia tidak terima disalahkan begitu saja oleh Leo. Sambil membawa tabung reaksi di tangannya, Silvia kemudian mencari tempat yang pas untuk melakukan reaksi selanjutnya.
“Masalahnya nih ya, lo sadar gak itu baunya gimana?” tanya Leo sambil mengerutkan keningnya. Silvia menghentikan pencariannya. Ia sendiri tidak menyadari ada bau yang aneh. Karena Leo berkata demikian, Silvia lalu mencoba mengipas-ngipaskan larutan yang ada di depannya itu dengan tangannya. Tujuannya agar ia tidak menghirup zat beracun secara langsung. Hasilnya, “hoek, bau banget sumpah. Kayak telur busuk,” umpatnya.
“Hidung lo emang udah parah kayaknya, bau kayak gitu masih bisa-bisanya gak sadar. Udah sana balik buruan. Keburu ibunya ngamuk nanti kalo ketauan lo ngebuat satu lab bau,” perintah Leo kepada Silvia untuk segera kembali ke lemari asam, tempat di mana ruangan itu bisa menyedot gas-gas berbahaya yang dihasilkan dari beberapa zat kimia.
“Tes kation gua udah sampai golongan tiga tapi belom dapet hasilnya juga. Mana uji anion belom dilakuin pula,” rengek Irene ketika mengetahui pekerjaannya belum menunjukkan tanda-tanda yang memuaskan.