“Ada-ada aja lo nih, pake acara kayak mau pingsan segala. Untung gak jadi.”
Awalnya, setelah Irene meminta teman-temannya untuk menguatkan diri mereka masing-masing, Irene merasa lemas. Teman-temannya merasa bahwa Irene seperti hendak pingsan. Beruntung irene hanya merasa lemas saja, kebetulan juga itu disebabkan karena ia sudah lapar. Karena itu, mereka kemudian membawa Irene menuju kantin. Tidak ada drama pingsan sehingga Leo menarik napas lega.
“Ya habisnya kan gua lapar. Terus ngelihat nilai kayak gitu. Makin lemas kan jadinya.”
“Tapi kan lo dari awal udah yakin kalo bakalan dapet jelek. Kenapa pas beneran lihat malah kayak gitu?”
“Ya karena namanya ditampar realita. Walaupun lo udah siap, pas beneran dikasih yang jelek-jelek kan tetep aja bikin stres.”
Ucapan Irene memang benar adanya. Terkadang manusia memang sudah mempersiapkan segala skenario terhadap sesuatu yang akan terjadi. Kadang sudah dipersiapkan juga kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Namun, saat kenyataan itu benar-benar tiba, tetap saja manusia bisa tidak siap untuk menghadapinya. Karena itu, perlu juga teman-teman yang baik untuk tetap menopang diri kita agar bisa tetap berdiri tegak melawan kejamnya dunia.
“Gak bisa nih kayak gini terus. Bisa-bisa beneran ngulang ini kita.”
Celetukan Silvia membuat mereka berempat tersadar kembali mengenai posisi mereka di kelas biokimia. Setelah melihat hasil belajar mereka di paruh pertama semester ini berjalan tidak memuaskan, mereka merasa ada hal yang salah dalam pembelajaran mereka. Dari nilai mereka berempat, memang hanya Ubay yang mendapatkan nilai baik. Meskipun demikian, nilai 60 di UTS yang diperoleh Ubay belum tentu juga menjamin keamanannya di mata kuliah ini. Masih diperlukan usaha ekstra agar bisa selamat dari terkaman singa berbulu biokimia ini.
Sisanya, dari Leo, Irene, dan Silvia, nilai mereka cukup membuat mereka sadar bahwa mereka harus cepat-cepat bertobat. Leo mendapatkan nilai 34, Silvia mendapat nilai 35, dan Irene mendapatkan nilai 32. Tidak mencapai nilai 40 dan membuat mereka bertiga hanya bisa mengeluskan dadanya. Mencoba menerima kenyataan hidup yang begitu pahit ini.
“Tapi bagusnya gimana ya? Kita udah belajar bareng, kerjain soal bareng, kadang marah-marah bareng, masa nilainya juga segitu-segitu aja sih? Berasa kayak gak pernah megang bukunya aja.”
“Ubay gitu-gitu aja dapet 60 doang. Ya tapi gimana ya, paling tinggi aja cuma 75. Terus tadi gua coba iseng-iseng hitung jumlah mahasiswa yang dapet nilai diatas 55, cuma ada delapan orang dari enam puluh lima mahasiswa di kelas kita. Kurang dewa apalagi coba kelas ini?”
“Ya gimana juga ya, itu soal kuis aja udah susah, soal kemaren lebih gila lagi. Lo bayangin aja kita disuruh jelasin macam-macam struktur protein dan digambar pula. Mana kepikiran coba kalo bakal disuruh kayak begitu.”