Kuliah Kok Gitu?

William Oktavius
Chapter #20

Argument from Our Heart

“Kan gua udah bilang gak mau, kenapa jadinya gua diseret ikut ke sini juga?”

Irene mengerucutkan bibirnya saat ia sudah berada di depan ruangan Ibu Nita. Awalnya Irene sudah bersikeras tidak mau ikut. Namun, karena rayuan Leo, ajakan Ubay, serta permintaan Silvia yang terus menerus hadir kepadanya, akhirnya Irene mengalah dan memilih untuk ikut bersama mereka. “Kalo lo gak ada, kita gak lengkap nih. Masa The USIL gak barengan pas kejadian kayak begini,” sahut Silvia saat hendak mengajak Irene. Akhirnya, mereka berempat kemudian hadir bersama di ruangan Ibu Nita. Setelah menarik napasnya sejenak, mereka berempat lalu masuk ke ruangan Ibu Nita. Tentunya setelah mendapatkan persetujuan dari sang pemilik ruangan.

“Loh kok yang datang berempat? Saya kan cuma izinin mahasiswa yang bernama Leo saja yang boleh ke ruangan saya di jam segini. Apa yang namanya Leo di kelas saya ada empat orang?” tanya Ibu Nita saat melihat Leo dan teman-temannya sudah berada di meja Ibu Nita.

“Itu karena ibu tidak memberikan informasi kepada mereka apakah mereka diizinkan atau tidak untuk menyanggah nilai. Kebetulan saya diperbolehkan sama Ibu, dan mereka ini teman-teman saya juga, kenapa gak sekalian aja mereka ikut? Kan waktu ibu juga lebih efektif karena cukup meluangkan satu waktu untuk empat mahasiswa, tidak satu-satu kayak yang lain,” balas Leo mencoba memberikan alasan agar teman-temannya bisa tetap berada di ruangan Ibu Nita.

“Karena mereka teman-teman anda, makanya anda merasa boleh untuk membawa mereka langsung ke sini tanpa izin dari saya?”

“Saya tidak tahu alasan ibu untuk tidak memberikan izin kepada mereka karena ibu tidak kunjung membalas pesan mereka. Jadi, saya anggap saja mereka bisa datang menemani saya, sekaligus untuk menyanggah nilai kepada ibu jika ada kesempatan,” balas Leo tidak mau kalah.

Ibu Nita hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan mahasiswanya. Namun, karena mereka semua sudah hadir dan Ibu Nita tidak mau terlihat se-tega itu jika mengusir tiga mahasiswa lainnya, Ibu Nita lalu memutuskan untuk menerima kehadiran mereka berempat.

“Memangnya waktu luang saya cukup banyak sampai bisa menjawab pertanyaan kalian semua melalui pesan? Jika tidak saya balas, ya itu berarti kalian tidak mendapatkan izin untuk menyanggah nilai dan kalian harus menerima nilai kalian itu. Tapi ya sudah. Karena kalian berempat sudah di sini, dan ada anak yang memang saya izinkan untuk datang, saya izinkan kalian semua untuk menyanggah nilai. Kalian mau protes bagian apanya? Kalo gak salah, kalian berempat ngulang semua kan?”

“Saya Ubay dan saya mau bertanya tentang nilai saya, Bu. Berhubung nilai saya juga 54.95 dan batas lulus adalah 55.00. Apakah tidak ada kebijakan lain atau pemeriksaan ulang gitu, Bu, untuk menaikkan nilai saya? Atau apakah ibu berkenan memberikan tugas tambahan kepada saya agar bisa menaikkan nilai saya ini? Hanya 0.05 saja, Bu, sehingga saya memohon pertimbangan ibu kembali untuk masalah ini,” ucap Ubay terlebih dahulu menceritakan persoalannya.

Kebetulan karena Ibu Nita sudah memberikan kesempatan kepada mereka berempat untuk bertanya nilai, Ubay langsung memanfaatkannya. Ini karena di antara mereka berempat, Ubay lah yang paling membutuhkan kesempatan ini. “Kalo nanti ibunya ngasih kesempatan buat kita berempat nanya nilai, lo tanya duluan. Lo paling butuh itu soalnya dibanding kita bertiga. Jadi lo duluan aja gak apa,” ucap Leo kepada Ubay sebelum mereka masuk ke ruangan Ibu Nita. Leo paham bahwa Ubay perlu diprioritaskan karena nilainya sangat mepet dengan batas aman, karena itu, Leo memberikan kesempatan kepada Ubay terlebih dahulu jika mereka berempat diizinkan menyanggah nilai.

“Saya bisa-bisa aja sih meriksa ulang. Kita sama-sama lihat nanti. Tapi kalo misalkan ternyata saya sudah benar mengoreksinya, saya revisi nilai kamu menjadi E karena sudah tidak percaya dengan kemampuan penilaian saya. Bagaimana?”

“Kalau begitu, bagaimana dengan tugas tambahan saja, Bu?” tanya Ubay kembali. Ia masih berharap kepada kemurahan hati Ibu Nita untuk memberikannya sedikit poin lagi untuk kelulusannya di mata kuliah ini. Sayangnya, Ibu Nita hanya menggelengkan kepalanya, tanda tidak setuju dengan usul tersebut. “Kalo begitu, nanti saya tidak adil dengan teman-teman yang lain dong. Masa saya memberikan tugas tambahan untuk menyelamatkan nilai kamu sedangkan yang lain tidak? Berarti kamu mendapatkan kesempatan yang berbeda kalo dibandingin sama teman-teman kamu dong.”

“Tapi, Bu. Ini kan saya yang meminta tugas tambahan. Berarti saya ada kesadaran untuk meminta tugas atau kerjaan lebih banyak dari yang lainnya untuk menyelesaikan mata kuliah ini. Apa itu tidak bisa dijadikan pertimbangan juga, Bu?”

“Saya rasa sepertinya sudah cukup ya untuk tugas di kelas yang kemarin. Jadi tidak ada tugas tambahan untuk memperbaiki nilai ya.”

“Tapi, Bu….”

“Makanya selama ada kesempatan di dalam kelas untuk belajar dan ada kuis serta ujian itu dimanfaatkan. Jadinya kalo kalian sudah melihat hasilnya, kalian gak perlu kecewa lagi jika udah benar belajarnya. Saya ingat, kalian kan senang nanya materi ke saya. Saya hargai itu, karena saya senang kalian mau mencoba lebih memahami materinya. Tapi ujian ya ujian. Saya tetap menilai kemampuan kalian ya berdasarkan apa yang sudah kalian kerjakan di atas kertas itu. Gak ada hal lain lagi.”

Ubay merasa kesempatannya untuk meminta sanggahan nilai sudah tidak ada lagi. Nada suara Ibu Nita seakan sudah final, sehingga Ubay tidak mempunyai alasan lagi untuk berdebat. Karena itu, Ubay memilih untuk mundur dan terpaksa menerima kenyataan bahwa ia harus mengulang kembali biokimia satu di tahun berikutnya. “Baik, Bu. Terima kasih sudah mau mendengarkan permintaan saya, Bu,” ucap Ubay lemah. Ia lalu mundur dan memberikan kesempatan kepada teman-temannya jika ingin menyanggah nilainya.

Lihat selengkapnya