Minggu Siang
Kris membawaku ke sebuah rumah di kawasan Gunung Dubbs, dekat komplek Pertamina. Kupikir di kawasan ini hanya ada rumah-rumah dinas para petinggi Pertamina saja. Ternyata tidak, ada juga beberapa rumah warga biasa yang letaknya hanya sepelemparan batu.
Aku mengikuti Kris yang berjalan masuk ke halaman rumah setelah menepikan Avanza-nya di seberang jalan. Rumah panggung bertingkat dua itu cukup terawat, meskipun aku tidak yakin masih berpenghuni. Seluruh dindingnya terbuat dari kayu ulin yang dicat warna putih tulang. Ada banyak jendela kecil yang tertutup tirai dari dalam. Arsitekturnya sederhana, tetapi terkesan klasik. Kris mulai menaiki anak tangga yang juga terbuat dari kayu ulin hitam.
“Ini rumah siapa, Kris?” Kuhentikan langkahku di ujung tangga. Kris menoleh, langkahnya ikut terhenti di anak tangga ketiga.
“Rumah keluarga Bara.” Sahutnya pendek. Kemudian melanjutkan langkahnya hingga mencapai anak tangga terakhir. Dia berhenti sejenak di depan pintu sebelum mengetuknya. Terlihat sedikit ragu. Aku menyusulnya dan langsung berdiri di sebelahnya.
“Siapa Bara? Apa dia itu artis terkenal sampai kamu nggak perlu menjelaskan apapun padaku?” Pertanyaanku memang terdengar nyinyir, tetapi aku tidak peduli.
Kris hanya mencibir sambil mengangkat bahu acuh tak acuh. Tangannya bergerak mengetuk pintu di depannya. Tidak ada jawaban. Kupikir rumah ini memang kosong. Dia mencoba memutar kenop pintu. Terkunci. Aku hanya bersidekap sambil geleng-geleng kepala menyaksikan aksi bodohnya.
“Rumah ini kosong, Kris. Apa kamu tidak bisa melihatnya?”
“Well, tidak ada salahnya mencoba bukan?” Dia menaikkan sebelah alisnya. Beranjak turun tanpa mempedulikanku yang bersungut-sungut di balik punggungnya.
“By the way, kamu belum menjawab pertanyaanku, Kris!” Aku berjalan dengan langkah lebar untuk menjajarinya.
“Pertanyaan yang mana?” Dia merogoh kantong celananya. Mencari kunci mobil.
“Siapa Bara?”
Kris tidak menjawab. Dia berjalan cepat mengitari bagian depan mobil. Masuk ke dalam dan langsung menyalakan mesin. Aku terpaksa mengulangi lagi pertanyaanku sambil memasang safety belt.
“Bara bukan artis, dia temanku.” Jawaban Kris yang singkat membuatku semakin gemas.
“Oke, Bara temanmu yang bukan artis itu tinggal di rumah kosong tadi?” Kris menggeleng. Tatapan matanya terfokus ke jalanan berkelok di depannya.
“Lalu?”
“Tidak ada “lalu”, Seli! Aku hanya mencoba setiap kemungkinan, itu saja!” Kris menghardikku. Wajahnya tampak kesal. Aku mengerti dia memang kurang tidur dan hal itu pasti berpengaruh pada kestabilan emosinya. Tetapi sikap Kris tadi agak berlebihan, tidak biasanya dia bersikap kasar begitu padaku.
“Oke, maksudku kemungkinan itu pasti memiliki alasan kan?” Aku tetap bersikeras. Kris melirikku tajam sebelum menjawab.
“Ya”
“Apa?” Cecarku enggan menyerah.
“Radit memiliki kunci duplikat rumah itu.”
“Bagaimana caranya? Tadi kamu bilang rumah itu milik keluarga Bara?”
“Sudahlah, Seli! Kamu lihat sendiri dia tidak ada disana kan?!” Kris berteriak dan memukul kemudinya hingga mobil kami berguncang. Aku terlonjak mendapati reaksinya yang diluar dugaan.
“Oke, fine.” Aku langsung menutup mulut. Syok dan sedikit takut melihat kemarahan Kris. Kualihkan tatapanku keluar jendela. Berusaha menenangkan diri dengan menghitung deretan pohon Meranti di tepi jalan.
“Sorry, Seli.” Terdengar suara bisikan dari sampingku. Tetapi aku tidak peduli dan tidak ingin menanggapi sama sekali.
***