Malam Senin
Pantai Melawai. Kris memilih tempat duduk terdekat dengan tepi pantai. Dia menghirup hawa laut dalam-dalam sebelum memesan kopi tubruk. Persis seperti Radit yang selalu terhipnotis pada suasana tepi pantai yang menenangkan.
“Radit menyukai pantai…” Kris berguman pelan.
Ya, aku tahu. Menurut Radit, sunrise tercantik itu bisa dilihat dari tepi pantai bukan dari atas gunung. Itu hanya pendapat subyektif dari lelaki yang memang tidak menyukai petualangan mendaki gunung.
“Aku pernah menemukan dia sedang duduk di dermaga jam 11 malam. Kamu tahu apa yang dia lakukan?” Kris bertanya sambil terkekeh sendiri. “Dia meng-edit foto untuk The Nikon Photo Contest yang deadline-nya satu hari lagi. Ajaib bukan?”
Aku meringis. “Kupikir selama ini dia normal-normal saja.”
Kris tertawa lepas. Aku sendiri tidak tahu bagian mana yang dianggapnya lucu. Setahuku, selama ini Radit memang tidak pernah menunjukkan keanehan seperti yang diceritakannya barusan. Memang dia penggila fotografi. Setiap kali dinas keluar kota satu tim denganku, dia pasti menculikku di hari libur untuk hunting foto. Dan dia berbakat, aku mengakuinya. Pernah secara tidak sengaja aku menemukan wajahnya terpampang di halaman sebuah majalah ibukota sebagai pemenang dari ajang bergengsi, National Geographic Photo Contest beberapa tahun lalu.
“Jadi menurutmu, mungkin dia akan datang kesini?”
“Entahlah!” Kris mengambil kotak rokoknya. Menyulut sebatang. Menghisapnya lalu bersandar menatap laut lepas di hadapannya.
Aku mendesah. Mengikutinya menyulut sebatang rokok. Lalu kami sama-sama terdiam. Menikmati semilir angin sambil sibuk dengan pikiran masing-masing. Bila benar dulu Radit biasa menghilang saat sedang stress, lalu masalah apa yang membuatnya stress kali ini? Apakah ada hal besar yang dia temukan di Petung? Apakah isi surat kaleng Dharma terbukti benar?
“Aku akan ke Petung!” Kumatikan api rokokku dan bangkit berdiri dengan semangat berlebihan. Kris tercengang mendengarnya.
“Aku harus mencari tahu sesuatu yang ditemukannya disana sebelum dia menghilang!”
“Jangan konyol, Seli!” Kris menarik lenganku untuk kembali duduk.
“Apanya yang konyol?” Tangannya kuhempaskan dengan kesal. “Kita harus tahu motifnya menghilang baru bisa menemukannya, Kris!”
“Dengan cara pergi kesana?” Kris jelas meremehkan ideku, tetapi aku langsung mengangguk pasti. Membuatnya menarik napas berat.
“Kita sudah mencarinya seharian tanpa hasil. Dan aku tidak bisa hanya duduk-duduk manis seperti ini sementara partner-ku entah sedang menghadapi masalah apa di luar sana!” Air muka Kris berubah seketika. Aku yakin dia tersinggung.
“Perempuan memang impulsif!” Dia membuang muka. Bibirnya mengatup rapat dan rahangnya mengeretak menahan marah. Tetapi aku tidak peduli. Kuhabiskan kopi susuku dalam satu kali tegukan.
“Aku bisa pulang sendiri kalau kamu masih ingin menikmati…”
“Just enough, Seli!” Kris menghardik. Dia bangkit berdiri. Menginjak api rokoknya dengan kasar. “Berhentilah berbicara seolah-olah cuma kamu yang peduli pada Radit!”
Aku tergugu. Kembali dikejutkan oleh sikap emosional Kris. Kutatap punggungnya yang berjalan menjauh. Dia membayar kopi kami sebelum menuju ke pelataran tempat Avanza-nya terparkir.
Sepanjang jalan kami saling berdiam. Kris memasang tampang dingin. Dia menyetir seolah tidak ada aku di sebelahnya. Kupikir dia akan langsung pergi begitu menurunkanku di depan lobi hotel. Ternyata tidak, dia memarkir mobilnya dan memintaku memesankan sebuah kamar.
“Pakai saja kamar Radit. Kalau pun dia pulang malam ini, kalian masih bisa berbagi tempat tidur kan?” Dia mengangguk setuju. Tanpa banyak bicara dia berjalan mendahuluiku menuju kamar Radit. Kris benar-benar marah padaku.
Begitu masuk kamar, aku langsung membersihkan diri. Menyiapkan segala keperluan untuk besok pagi. Aku hanya kurang mencetak alamat tempat tinggal konsumen yang nanti akan kukunjungi. Semua datanya ada di laptop Radit yang tersimpan di kamarnya. Aku keluar dengan piyama tidur dan rambut yang digelung seadanya. Mengetuk pintu kamar di sebelahku. Kris membuka pintu dengan wajah kusut. Dia belum mandi, bisa kulihat dari pakaiannya yang belum diganti. Tercium bau alkohol dari mulutnya saat menyuruhku masuk. Benar saja, aku menemukan tiga kaleng bir tergeletak di atas lantai. Dua diantaranya sudah kosong.
“Aku mau pinjam laptop Radit.” Kubuka pintu lemari yang kuncinya tergantung di lubangnya. Kadang-kadang Radit memang sedikit ceroboh. Kris hanya mengangkat bahu tidak peduli. Dia duduk di tepian jendela yang kacanya dibuka. Menikmati rokoknya sambil menatap ke arah luar. Kris sedang tidak ingin diganggu. Karena itu aku langsung beranjak keluar setelah menyampirkan tas laptop Radit ke atas bahu.
“Seli…!” Kris memanggilku. Langkahku terhenti sebelum meraih kenop pintu.