KULMINASI

Tri Wahyuningsih
Chapter #5

5. Sang Mantan

Senin Malam, 12 Maret 2013

Tidak mudah mencari tempat kost mendadak seperti ini. Aku tidak memiliki pilihan lain kecuali menghubungi Yuri, mantan pacarku. Dia wartawan bagian kriminologi di Kaltim Pos. Lelaki keturunan Tionghoa yang kutemui di pesawat dua tahun lalu. Pertama kalinya aku terbang ke Pulau Kalimantan kala itu. Sendirian. Karena Titan yang menjadi team leader-ku sudah berangkat dari Surabaya sehari sebelumnya.

“Pertama kali terbang?” Dia bertanya setengah ragu. Mungkin heran melihatku begitu gugup menjelang pesawat lepas landas di Bandara Soekarno Hatta. Aku menggeleng, tetapi kemudian mengangguk. Membuatnya mengernyit bingung.

“Ini yang pertama setelah pesawatku kecelakaan setahun lalu.” Aku berusaha menarik bibirku ke atas. Entah menghasilkan sebuah senyuman atau justru seringaian aneh. Dia mengangguk paham. Selanjutnya dia terus mengajakku bicara hingga pesawat mengudara dan tubuhku mulai berhasil menyesuaikan diri. Aku terpesona dengan caranya yang cukup unik untuk membuatku merasa nyaman dan terbebas dari trauma terbang.

“Yuri Salim…” Begitu dia memperkenalkan diri. Membuat senyumku terkembang seketika. Dia lelaki yang usianya empat tahun lebih muda dariku. Rambutnya lurus dan dibiarkan tumbuh hingga mencapai bahu. Ibunya suku dayak asli yang berasal dari pedalaman Melak, sementara ayahnya keturunan Tionghoa yang dibesarkan di Samarinda. Sebuah anomali yang luar biasa karena dia bisa dengan mudah membuatku jatuh cinta. Padahal aku tipe perempuan yang sulit membuka hati untuk lelaki yang usianya kuanggap belum dewasa. Dua puluh dua tahun ketika itu. Hubungan kami memang hanya bertahan tidak lebih dari delapan bulan, tetapi bukan berarti semuanya berakhir begitu saja. Aku masih sering menemuinya bila kebetulan bertugas di kotanya, begitupun sebaliknya.

Yuri menjawab teleponku pada panggilan ketiga. Suaranya terdengar lelah. Mungkin dia baru saja tiba entah dari mana. “Hai, sweety…”

Aku tertawa mendengar sapaan mesranya. “Apa aku mengganggu?”

“Ya, dan tidak!” jawabnya sambil terkekeh. “Aku baru selesai rapat redaksi, apa kamu masih di Balikpapan?”

“Ya, dan sepertinya akan lebih lama disini…” Aku sengaja memberi jeda demi mendengar reaksinya. Dia hanya bergumam tanpa kata sebelum aku kembali melanjutkan.

“Boleh aku sedikit merepotkanmu? Tolong bantu aku mencari tempat kost karena semua referensi dari internet yang kudatangi ternyata penuh,”

“Tentu, dimana kamu sekarang?” Yuri menyela cepat. Aku menyebutkan nama sebuah kafe di tepi pantai Kemala. Dia memintaku menunggu sekitar lima belas menit untuk menyusulku kesini.

Tidak banyak yang berubah dari penampilan Yuri. Dia masih sama menariknya seperti terakhir kali kami bertemu. Kilat jenaka pada sepasang mata sipitnya yang tampak segaris bila sedang tertawa dan pelukan hangatnya yang selalu terasa menyenangkan. Dia merampas rokok yang tengah kuhisap dan membuangnya ke tempat sampah. Lalu duduk di sebelahku dengan sebelah tangan yang terentang memeluk bahuku.

“Aku sudah mendengar berita itu.” Dia bicara setelah melambaikan tangan pada pelayan laki-laki yang berdiri dekat pintu masuk.

“Temanku yang meng-handle liputannya.” Dia berhenti sejenak saat pelayan itu berdiri di samping meja kami. Memesan secangkir espresso dan marshmallow kesukaannya.

“Aku turut berduka, maaf tadi belum sempat menghubungimu, Sel.” Dia mengusap bahuku. Aku hanya mengangguk tanpa suara.

“Siapa yang mengantar jenazahnya ke Jakarta sementara kamu tetap tinggal?”

“Temanku.” Aku menjawab singkat. Mendung itu kembali menggelayut. Bayangan wajah Radit yang dua hari lalu masih sarapan pagi bersamaku kembali melintas. Dia masih terlalu muda. Tidak mungkin Tuhan memberinya peran hanya sekedipan mata.

“Aku yakin dia bukan pecandu. Ada yang tidak wajar dengan kematiannya, tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana cara membuktikannya…”

Yuri mengangkat sebelah alisnya. “Apa kalian sedekat itu?”

Aku terkesiap mendapati pertanyaannya yang bernada tak biasa. “Maksudmu?”

“Sampai kamu bisa yakin dia bukan pecandu?”

Aku langsung terdiam. Suara Kris sore tadi kembali terngiang seperti alarm di kepalaku. Kris lebih lama mengenal Radit dan dia berani menegaskan bahwa Radit pernah menjadi pecandu. Dan mungkin masih menjadi pecandu hingga ajal menjemputnya. Entahlah.

“Sel…?”

Aku menghela napas panjang. “Dia tidak terlihat seperti itu, dear…”

“Oke, anggaplah aku memilih untuk percaya pendapatmu,” dia melepaskan tangannya dari bahuku. Mengambil rokok dan menyulutnya. “Lalu siapa yang kamu curigai?”

Aku mendengus. “Dharma, karyawan cabang, dia orang terakhir yang bersama Radit!”

“Berarti besok kita harus menemui dia!” Yuri memutuskan tanpa pikir panjang.

Lihat selengkapnya