KULMINASI

Tri Wahyuningsih
Chapter #6

6. Mencari Bukti Intuisi

Selasa Siang

13 Maret 2013

10.00

Narasumber Yuri yang kedua adalah dokter yang mengautopsi Radit. Selain membutuhkan informasi mengenai ciri-ciri kematian pecandu narkotika akibat over dosis berdasarkan hasil autopsi untuk bahan artikelnya, dia juga sekaligus ingin memastikan penyebab kematian Radit dari sisi medis.

Kami langsung menemui Dokter Pram di ruang kerjanya. Lelaki setengah tua itu tampak kurang antusias menyambut kedatangan kami. Mungkin dia sudah bosan dikejar-kejar para pencari berita seperti Yuri yang sering kali mengusik ketenangan kerjanya.

“Apa kabar, Dok?” Yuri menyapanya penuh basa-basi.

“Anda terlihat lebih segar dari waktu terakhir kita bertemu.”

Dokter Pram hanya menanggapinya dengan senyum tipis sekedarnya saja. Ini pasti kali kesekian Yuri merepotkan Dokter Pram sehubungan dengan pekerjaannya sebagai wartawan di bidang kriminologi.

“Setahu saya, kematiannya dianggap over dosis biasa. Saya jadi sedikit terkejut tiba-tiba kamu menghubungi saya semalam. Saya pikir masih ada yang kurang dengan hasil wawancara kita waktu itu.” Dokter Pram berkata sambil menyuruh kami duduk. Yuri tertawa kecil sebelum menarik kursi di hadapannya.

“Ini berkas hasil autopsinya.” Dokter Pram menyerahkan sebuah map plastik berisi potongan gambar dan print out hasil autopsi Radit. Yuri menerimanya dan langsung membuka lembaran-lembaran di dalamnya. Meneliti satu-persatu sambil sesekali dahinya tampak mengernyit.

“Suntikan di pembuluh darah lengannya yang menyebabkan dia over dosis dan akhirnya meninggal.” Dokter Pram menunjuk potongan gambar yang sedang dibuka oleh Yuri.

“Sedikit aneh karena menurut polisi tidak ditemukan jarum suntik di lokasi kejadian, hanya ada bong dan perlengkapannya.”

Yuri mendongak penuh minat. “Dokter sudah mengatakan hal ini pada mereka?”

Dokter Pram mengangguk. Kulihat Yuri menggeleng tidak percaya. “Dan Dokter tahu kalau ternyata mereka tidak mempublikasikannya?”

Seulas senyum tersungging di bibir dokter berkaca mata itu. “Polisi sudah melakukan bagian yang menjadi tanggung jawab mereka, kematian pemuda itu memang karena over dosis,”

Yuri baru saja akan menginterupsi ketika dokter itu kembali melanjutkan kalimatnya. “Saya paham maksud kamu, tapi kamu juga pasti paham hal-hal seperti ini.”

“Ada yang salah dengan ini semua, dok.”

Dokter Pram tersenyum sabar. “Kita bisa apa, tidak ada sidik jari lain di lokasi kejadian. Meskipun kita berpikir ada orang lain yang sengaja menyuntikkan cairan shabu ke tubuhnya, tetap saja kita tidak bisa memastikannya selama jarum suntik itu tidak berhasil ditemukan.”

Aku mengurut pelipisku yang terasa berdenyut. Kalimat Dokter Pram membuat kepalaku terasa berputar-putar dan asam lambungku sepertinya mulai naik hingga rasanya sedikit mual. Terbayang di pikiranku sosok yang entah siapa dan memiliki motivasi apa hingga dengan kejamnya tega menyuntikkan bubuk kristal itu ke tubuh Radit. Kemudian dengan lihainya membersihkan sidik jari dan menyembunyikan jarum suntik untuk menghilangkan jejak. Mungkin saat ini dia sedang berkeliaran di sekitarku, bahkan tidak mustahil siapapun bisa menjadi target selanjutnya termasuk aku.

Yuri pamit setelah merasa cukup puas dengan informasi yang diperolehnya. Dia mengantarku ke kantor cabang di daerah Klandasan. Tetapi alih-alih ikut masuk, dia justru memilih menungguku di warung kopi depan kantor. Ucapan belasungkawa langsung menyerbuku begitu muncul di lobi, terutama dari para perempuan yang mungkin diam-diam memiliki kekaguman khusus pada Radit.

Pemakaman Radit sendiri dilakukan siang ini, Hiro – adit semata wayang Radit memberitahuku melalui sms. Aku sudah meminta maaf padanya karena tidak bisa ikut menghadiri upacara pemakaman. Dia langsung terbang dari Vietnam kemarin pagi setelah kuhubungi. Kedua orang tua Radit juga datang untuk melihat putra mereka sebelum dikebumikan.

Ternyata Dharma ijin tidak masuk kantor hari ini, Jery – kepala cabangnya, memberitahuku. Dia mengajakku masuk ke ruangannya. Entah maksudnya hanya ingin mengobrol basa-basi atau sekaligus memamerkan ruang kerjanya yang lebih mirip ruang pamer miniatur mobil. Ada ratusan tipe mulai dari mobil klasik, sport, hingga mobil-mobil mewah seperti Ferrari. Bahkan laptopnya dilapisi soft case bergambar mobil Subaru. Dia memintaku untuk duduk dan menyuruh office boy membawakan teh untukku.

“Saya tidak akan lama, Pak. Saya sedang cuti sebenarnya,” Aku menolak halus, namun tidak dipedulikannya sama sekali. Dia menutup pintu ruang kerjanya setelah office boy datang membawakan teh manis hangat untukku dan kopi hitam untuknya.

“Saya benar-benar turut berduka atas kepergian Radit.” Katanya membuka pembicaraan.

“Si casanova itu, dia bisa mendapatkan apapun yang diinginkan hanya dengan senyum tipisnya yang…, begitulah!” Jery terkekeh sendiri di akhir kalimatnya.

“Mungkin Tuhan memanggilnya lebih cepat agar tidak banyak lagi hati perempuan yang dia patahkan!”

Aku sontak mengernyit, terganggu dengan gurauannya yang sama sekali tidak lucu. Ralat, tidak tepat waktu. Dia menyadari perubahan sikapku dan langsung meminta maaf. “Sorry, sorry, saya tidak ada maksud apa-apa, hanya sekedar intermeso agar suasana hatimu membaik saja.”

Aku sengaja mendiamkannya hingga dia semakin salah tingkah. “Saya hanya merasa dia masih ada bersama kita, jadi ya, entahlah!” Jery mendesah dengan wajah menyesal yang dibuat-buat.

Aku mencibir muak. “Saya tahu anda merasa lega karena Radit sudah tidak ada.”

Bukannya tersinggung, Jery malah tertawa keras. “Kamu itu serius sekali, Seli. Pantas saja Kris begitu khawatir,”

Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Ada keterkejutan yang berusaha dia sembunyikan. Aku yakin kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya bukanlah kalimat yang diharapkan. Dia pikir, aku pasti akan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan setelahnya. Tetapi aku memilih diam, membiarkannya mengganti topik pembicaraan sesuka hatinya.

“Radit itu lulusan MT terbaik di angkatan saya, tetapi dia menolak jabatan kepala cabang yang ditawarkan dan memilih menemani sahabatnya yang terbuang ke divisi kalian.” Nadanya jelas meremehkan, tetapi aku mengerti maksud dari ucapannya.

Lulusan MT di kantorku diharapkan bisa mengisi posisi-posisi penting di bagian bisnis dan operasional, menjadi pemimpin-pemimpin di cabang agar bisa mengembangkan perusahaan. Bukan di bagian support seperti internal audit. Kris sebenarnya bukan terbuang karena tidak mampu memenuhi harapan itu, hanya saja dia terlalu keras kepala untuk menjadi penurut selama masa On Job Training. Kris yang pemberontak dan tidak fleksibel dianggap lebih tepat mengisi posisi sebagai auditor. Dan Radit yang terlalu setiakawan, tentu saja ikut mencemplungkan diri meskipun diiringi banyak penyesalan dari para mentornya.

“Kami semua tahu, Kris sangat beruntung memiliki sahabat sebaik Radit, tetapi entah bagaimana awalnya hubungan mereka yang sedekat itu tiba-tiba jadi tidak baik-baik saja.” Jery menyesap kopi hitamnya.

Lihat selengkapnya