KULMINASI

Tri Wahyuningsih
Chapter #9

9. Menuju Bontang

Rabu Dini Hari

14 Maret 2013

02.00

Aku terbangun dan mendapati Yuri sudah tidak ada di sebelahku. Tanganku yang menggapai-gapai hanya menemukan gulungan selimut dan bantal gulingnya. Kuraih ponselku untuk melihat jam. Masih pukul dua dini hari. Aku turun dari atas ranjang sambil meraba saklar di dinding untuk menyalakan lampu. Yuri tidak ada di ruangan. Dari arah kamar mandi tidak terdengar suara air dan sejenisnya. Tidak ada sahutan juga saat aku memanggil namanya. Tetapi kulihat pintu menuju balkon sedikit mengintip.

Aku menyelinap keluar dan melihat Yuri tengah berdiri di tepi balkon. Asap rokok terlihat mengepul dari sela-sela jarinya yang bertumpu pada pilar pembatas. Dia tidak menyadari kehadiranku, bahkan hingga aku berdiri di belakang punggungnya.

“Yuri,” Aku menyentuh lengannya. Dia terperanjat dan hampir menjatuhkan rokoknya. “Kenapa nggak tidur?”

“Belum bisa tidur.” Jawabnya sambil memberi ruang padaku. Dia melepas jaket di tubuhnya dan membalutkannya padaku. “Di luar sini dingin, nanti kamu masuk angin!”

Aku tersenyum. Perhatian kecilnya berhasil membuat perasaanku menghangat. Yuri memang tidak banyak merayuku dengan jutaan kalimat gombal, tetapi dia selalu mampu menunjukkan rasa sayangnya dengan cara yang tepat.

“Ada yang menggangu pikiranmu sampai nggak bisa tidur?” Kusandarkan kepalaku di bahunya.

“Banyak.” Yuri melingkarkan lengannya ke tubuhku. Mengusap rambutku. Sementara tangan lainnya masih memegang rokok yang asapnya mengepul ke udara.

“Mendengar cerita Hiro mengenai hubungan Bara dan Radit, lalu kematian Lizia yang over dosis seperti cara Radit, kunci rumah Bara yang tidak rusak sama sekali, sepertinya motif balas dendam cukup masuk akal, tetapi entah kenapa aku tetap merasa tidak yakin.”

“Bara maksudmu?” simpulku ragu.

Yuri mengangkat bahu. “Mungkin saja pembunuhan itu memang sudah dipersiapkan sejak lama dan hanya menunggu waktu yang tepat untuk dilaksanakan, entahlah.”

Aku bergidik ngeri. Membayangkan sosok Bara sebagai seorang psikopat seperti The Ice Man yang diam-diam mengawasi Radit dari jauh kemudian menjebaknya di saat Radit lengah.

“Sebaiknya kita segera menemui Bara, tetapi kalau ternyata dugaanku salah,” Yuri menarik napas berkali-kali sebelum melanjutkan. “Aku terpaksa harus mencari cara untuk bisa masuk ke dalam jaringan pengedar shabu disini.”

“Maksudnya kamu akan menyamar menjadi pemakai sekaligus kurir seperti rencanamu waktu itu?” Aku melepaskan diri dari pelukannya. Kutatap Yuri dengan sorot mata tajam.

No, Yuri. Aku nggak akan membiarkan kamu melakukan hal konyol semacam itu.” Yuri mendesah, kemudian memalingkan wajahnya dariku.

“Tidak ada cara lain lagi, Sel.” Dia menghisap rokok di tangannya. “Aku harus tahu siapa yang memesan barang sebanyak itu karena mustahil mereka mau memberikannya pada orang asing.”

“Jadi menurutmu yang memesan barang itu pasti pecandu yang sudah dikenal oleh para pengedar?” Yuri mengedikkan bahunya tanpa menoleh padaku.

“Aku tetap tidak setuju, Yuri!” Teriakku nyaris histeris.

Kudengar dia mendesah berat. Mematikan api rokoknya dan melemparnya ke dalam tempat sampah. Tubuh tingginya membungkuk ke bawah balkon. Entah menatap pemandangan apa di bawah sana. Aku meraih sebelah lengannya. Menyandarkan kepalaku di sana. “Aku nggak mau kehilangan kamu,”

Dia langsung menegakkan tubuhnya dan menarikku ke dalam pelukan. “Bicaramu itu seolah aku ini sukarelawan yang mau ikut perang saja, Sel!” Katanya sambil terkekeh. Aku meringis sambil memukul pelan dada bidangnya.

“Apa boleh aku meminta sesuatu?”

“Asalkan bukan permintaan yang aneh-aneh!” Aku menyahut sambil memberengut.

Dia kembali tertawa mendengar ucapanku. Tangannya bergerak meraih kedua bahuku. Menatapku lekat. “Sama sekali bukan permintaan yang aneh kok, Sel. Aku cuma minta kamu percaya padaku,”

Aku langsung menunduk, teringat ulah konyolku siang tadi. “Sejauh ini, niatku membantumu tidak ada kaitannya dengan target pekerjaanku ataupun tulisan-tulisanku di Koran. Kamu tahu aku bukan wartawan gosip kan?”

Aku mengangguk. Ucapannya cukup mengentakku. Rasanya seperti ditampar-tampar. Mungkin aku memang tidak tahu diri. Yuri sudah bersusah payah membantuku, tetapi aku justru sempat berpikiran negatif padanya. “Sorry…”

Lihat selengkapnya