Kamis Pagi
15 Maret 2013
05.00
Yuri membangunkanku tepat ketika suara adzan Subuh berkumandang di langit kota Bontang. Kami memang berencana kembali ke Balikpapan pagi-pagi sekali. Begitu selesai membersihkan diri dan shalat Subuh, aku langsung mengemasi ransel. Yuri sedang berbicara di telepon dengan Ibunya, dia berencana mengajakku mampir ke rumah orangtuanya di Samarinda.
“Salam dari Mama.” Katanya setelah menutup telepon. Aku menoleh. Terulas sebuah senyum serba salah di bibirku. “Aku bilang kita mau mampir dan dia langsung semangat mau masak Umbut Rotan[1] buat kamu.”
“Aku pernah mencobanya satu kali waktu dinas di Palangkaraya dan rasanya unik.”
Waktu itu aku dan Radit penasaran mendengar cerita dari teman-teman di kantor cabang mengenai sayuran dengan bahan dasar rotan. Akhirnya kami nekat mencobanya meskipun awalnya sedikit ragu. Ternyata rasanya tidak aneh dan aku menyukainya.
Baru pukul 05.30 ketika kami masuk ke restoran hotel. Menu sarapannya belum tersedia. Hanya ada kopi dan teh yang bisa dinikmati bersama potongan roti dan selai. Yuri mengembalikan key card dan mengurus check out di meja resepsionis. Sementara aku membuatkan kopi dan roti panggang untuk sarapan kami.
Tadi malam akhirnya kami sepakat untuk tetap melanjutkan penelusuran yang sudah kami mulai. Yuri berjanji tidak akan melibatkan diri ke dalam jaringan narkotika seperti rencananya. Masih ada satu orang lagi yang dia curigai. Meskipun dia sendiri tidak yakin, tetapi menurutnya Niar memiliki alasan kuat untuk melenyapkan Radit dari muka bumi. Karena perempuan yang sakit hati mampu berbuat apapun di luar kendali, bahkan bila dia begitu mencintai si lelaki pematah hati.
Yuri kembali menghampiriku. Duduk kemudian menyeruput kopi hitamnya. Dia hanya melirik sekilas roti isi selai cokelat yang kubuatkan tanpa minat.
“Kita sarapan di rumah Mama aja ya, Sel?”
Aku tersenyum setuju. Yuri memang tidak suka roti tawar. Aku sendiri hanya memakan setengah tangkup demi menyumpal keriuhan cacing perutku. Lagipula jarak Bontang ke Samarinda hanya tiga jam perjalanan. Jadi sarapan di pukul 9 tidak terlalu terlambat kurasa.
Yuri melemparkan tas ranselnya ke jok belakang kemudian memanaskan Jeep-nya. Sambil menunggu, dia mengeluarkan kotak rokok dan untuk pertama kalinya menawariku.
“No, thanks.” Tolakku tanpa ragu. Dia mengernyit.
“Lagi nggak mood mengotori udara pagi!” Kataku sekenanya.
Dia terkekeh dan sengaja menyemburkan asap rokok pertamanya ke wajahku. Langsung kutoyor kepalanya dengan geram.
Sekitar pukul 9 Jeep yang dikendarai Yuri mulai memasuki komplek perumahan elit Villa Tamara di Jalan AW Syahranie, Samarinda Utara. Dia menepi di depan sebuah rumah berlantai dua dengan desain bangunan mediterania. Warnanya terakota dengan atap pelana dan pilar pilar besar yang tampak maskulin. Jendela-jendelanya berbentuk kotak persegi panjang kecil yang melengkung setengah lingkaran pada bagian atasnya. Yuri membuka pagar yang tidak dikunci kemudian menggandeng lenganku untuk masuk. Menaiki anak tangga dan berhenti di depan pintu kayu bergaya renaissance sebelum menekan bel.
Seorang wanita cantik berkulit putih bersih membukakan pintu untuk kami. Dia tersenyum dan langsung memeluk Yuri. Rambutnya lurus dan ditarik ke belakang membentuk bulatan, memperlihatkan leher jenjangnya yang masih tampak kencang di usianya yang tidak lagi muda. Pantas saja banyak lelaki perantauan yang tergila-gila pada perempuan suku dayak. Mereka memang memiliki kecantikan alami seperti Bidadari. Sekarang aku tahu dari mana Yuri mendapatkan rambut lurus hitamnya yang indah. Dia baru beralih padaku setelah puas melepas rindu pada anak lelakinya.