KULMINASI

Tri Wahyuningsih
Chapter #14

14. Disonansi Kognitif

Jumat Sore

16 Maret 2013

16.00

Kris berhasil membuatku terkejut. Dia muncul tiba-tiba di depan pintu kamar kost Yuri tanpa memberitahuku terlebih dulu. Aku baru saja selesai membersihkan diri dan terburu-buru mengenakan pakaian karena berpikir Yuri yang datang.

“Boleh aku masuk? Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan.” Katanya di ambang pintu.

Aku tidak menjawab, tetapi kutarik daun pintu lebih lebar agar dia bisa masuk. Tidak ada sofa di kamar kost Yuri, jadi kupersilakan dia duduk di atas karpet yang ada di tengah ruangan. Dia menatap berkeliling tempat tinggalku selama kurang lebih satu minggu ini dengan dahi mengernyit. Entah apa yang dipikirkannya, aku tidak ingin peduli.

Kris mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya. Sebuah amplop bergambar logo PT. Share Finance. Dia menyerahkannya padaku tanpa berbicara sepatah kata pun.

“Apa ini?” Kris tidak menjawab, dia hanya memberi gestur agar aku membukanya.

Sebuah surat terlipat rapi di dalamnya, tertanggal tiga hari lalu. Satu hari sebelum Kris menyusulku kesini. Selembar surat tugas baru dengan namanya tercantum sebagai Team Leader dan Marsha sebagai anggotanya. Ada satu lipatan kertas lagi di dalam amplop, sebuah print out tiket pesawat atas namaku untuk keberangkatan malam ini. Aku menggeram dan mendongak menatap Kris tidak percaya. Menimang kertas-kertas dalam genggamanku sambil mengernyit meminta penjelasannya.

“Kenapa kamu baru memberitahuku sekarang? Kenapa tidak kemarin atau semalam saat aku menemuimu?”

“Apa bedanya?” Katanya sambil mengangkat bahu.

Aku nyaris berteriak di depan mukanya. Memaki sikap tidak peduli yang ditunjukkannya dengan sempurna.

“Marsha akan menyusulku hari senin. Kamu bisa memindahkan semua data hasil pemeriksaanmu ke laptopku.”

Dia mengeluarkan laptopnya dari dalam ransel. Menghidupkannya di atas pangkuan kemudian menyerahkannya padaku.

“Biar aku yang melanjutkan, Sel. Kamu bisa kembali ke Jakarta, karena disini terlalu berbahaya untukmu.” Dia menegaskan ketika melihatku tetap tidak bergeming.

“Aku akan tetap disini.” Tandasku tanpa kompromi.

“Seli, please. Percayalah padaku, setelah pemeriksaan ini selesai, aku akan berusaha keras menemukan pembunuh Radit yang sebenarnya.”

Horse Shit!” Aku memaki kesal. “Masukkan aku ke dalam tim barumu, agar aku bisa tetap disini bersamamu!” Kris hanya menarik napas berat. Kulihat dia melirik jam tangannya.

“Pesawatmu take off tiga jam lagi, Seli.”

Sialan, sialan, sialan. Aku mengentakkan kakiku ke lantai sebelum beranjak mengambil tas ransel. Mengeluarkan laptop dan flashdisk kemudian menyerahkannya pada Kris.

“Dan ponselmu?”

Aku membeliak, tetapi kuserahkan juga ponselku padanya.

“Lakukan sesukamu!” Kataku sambil melangkah menuju balkon. Meraup pematik dan kotak rokok dari atas meja. Aku perlu menenangkan diri. Terserah apakah aku akan ketinggalan pesawat dan sebagainya. Bukan kemauanku juga untuk pulang ke Jakarta hari ini.

Kris selesai dengan pekerjaannya setengah jam kemudian. Dia menawarkan diri untuk mengantarku ke bandara, namun kutolak basa-basinya dengan langsung mengusirnya pergi.

“Kamu sudah mendapatkan semua yang kamu perlukan, jadi berhentilah mengurus urusanku!”

Lihat selengkapnya