Sabtu Pagi
17 Maret 2013
05.15
Aku terbangun pagi-pagi sekali. Efek jetlag sedikit membuat tubuhku terasa kehilangan daya untuk digerakkan. Aku beranjak bangkit dari atas ranjang dan memaksa diriku untuk keluar kamar. Suara alat masak yang berdenting dari arah dapur menjadi penanda Ratu rumah ini sudah mulai bertempur.
“Pagi, Ma,” Sapaku di ambang pintu dapur. Ibuku menoleh, tersenyum menjawab salamku sambil memasukkan potongan sayuran ke dalam wajan berisi nasi goreng.
“Bagaimana tidurmu? Nyenyak, Sel?”
“Lumayan, Ma.” Aku mengambil botol minum dari dalam lemari pendingin. Meneguknya hingga nyaris tandas.
“Kamu kelihatan tidak terurus setiap kembali dari luar kota, lama-lama Mama jadi khawatir,”
Aku terkekeh mendengarnya. “Aku tidak sempat ke salon, Ma. Dan makanan disana tidak ada yang seenak buatan Mama, jadi mungkin berat badanku berkurang beberapa kilo.”
“Kalau begitu carilah pekerjaan yang sesuai untuk perempuan, Sel!”
Aku hanya mendengus tanpa niat membantah sarannya. Ibuku memang termasuk perempuan konvensional, dia masih memilah jenis pekerjaan sesuai gender. Dan pekerjaan auditor yang sesekali mengharuskanku keluar masuk hutan di pedalaman dianggapnya tidak sesuai dengan jenis pekerjaan perempuan.
“Aku mau lari pagi dulu, Ma. Sisakan nasi gorengnya untukku.” Kukecup sebelah pipinya sebelum melengos pergi.
Aku masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri seadanya. Kukenakan celana training dan jaket tipis untuk melapisi kaos tanpa lengan. Mengikat tali sepatu kets-ku dengan cepat kemudian menyalakan ponselku sambil beranjak keluar.
Udara pagi kota Bogor menyambutku dengan ramah. Bau tanah basah sisa hujan semalam yang bercampur dengan embun pagi di atas dedaunan menambah kesegarannya yang alami. Pepohonan besar yang berjajar di pinggir jalan komplek seperti penjaga istana yang siap mengiringi langkahku berlari. Kupilih lagu Rude milik Magic! untuk menemaniku. Lagu favorit Yuri.
Aku mulai mempercepat derap langkahku hingga tubuhku mulai terasa ringan. Sensasi seperti inilah yang paling kusukai dari berlari. Aku seperti terbang meninggalkan segalanya di belakangku.
Perlahan mataku mulai terpejam, lirik lagu Rude masih memanjakan indera pendengaranku. Meresap pelan-pelan ke dalam benakku dan entah bagaimana caranya tiba-tiba saja untaian katanya terasa lebih mengena daripada biasanya.
'Can I have your daughter for the rest of my life? Say yes, say yes
'Cause I need to know
You say I'll never get your blessing till the day I die
Tough luck my friend cause the answer is still no!
Aku mengerjap seketika. Derap langkahku melambat dan akhirnya berhenti di ujung jalan. Kuluruskan kakiku ke depan, duduk manis di atas trotoar. Yuri bilang lagu itu memiliki arti khusus buatnya, dan aku baru mengerti sekarang. Dia tahu, bagaimanapun juga ayahku tidak akan pernah menyetujui hubungan kami. Ada jurang lebar dan dalam ditambah tembok besar yang sudah terbangun sejak kami dilahirkan. Kami sama-sama menyadari hal itu, tetapi seolah menutup mata dan terus berjalan tanpa komitmen yang nyata.
Lagu Rude terhenti oleh suara The Creed, nama Yuri muncul di layar ponselku. Aku tertawa sendiri, terlintas pikiran konyol di otakku. Aku dan Yuri mungkin saja ditakdirkan memiliki semacam tali penghubung tak kasat mata yang membuat kami akan merasa tersentil bila sedang saling memikirkan satu sama lain seperti saat ini.
“Hallo,”
Yuri menjawab sapaanku dengan desahan panjang. “Akhirnya, kupikir kamu sudah tidak mau lagi bicara denganku.”
“Ya, selama kamu masih bersikeras melakukan rencana konyolmu itu!” Tandasku geram. Yuri terkekeh di seberang sana.
“By the way, bagaimana pagimu disana, Sel?”
Aku berdehem. Yuri memang pintar mengalihkan pembicaraan. “Sama saja dengan pagi di Balikpapan, disini pun cuma ada satu matahari dan terbit di ufuk timur.”