Senin Pagi
19 Maret 2013
06.00
Bulan Maret di kota lain mungkin sudah berpisah dengan musim hujan, tetapi tidak dengan kota Bogor. Pantas saja disebut Kota Hujan. Pagi ini aku terpaksa berangkat kerja dengan blus sedikit basah karena terciprati air hujan yang tidak berhasil dihalau oleh payungku. Begitu tiba di stasiun Bogor, aku tidak langsung menaiki commuter line yang memarkir diri di sepanjang rel. Aku memilih menepi di gerai kopi demi menghangatkan tubuhku yang mulai menggigil. Sweaterku tertinggal di foyer saat memilih sepatu dan aku malas mengambilnya kembali begitu teringat dan sudah berada di atas angkot.
Pukul enam lebih dua menit, tetapi langit kota Bogor masih kelabu hingga membuat ragu Sang Surya yang ingin naik ke singgasananya. Aku melangkah gegas menuju gerbong kereta setelah menghabiskan cappuccino hangatku. Mengambil tempat duduk di gerbong khusus perempuan dan bersiap memejamkan mata. Perlu waktu sekitar satu setengah jam untuk tiba di stasiun gondangdia, stasiun terdekat dengan kantorku di kawasan Thamrin. Aku bisa kembali melanjutkan tidurku selama itu.
Bukan commuter line bila bebas dari gangguan di senin pagi. Ada-ada saja permasalahannya, mulai dari rel patah hingga gangguan persinyalan yang membuat perjalanan kereta yang seharusnya memakan waktu 1,5 jam membengkak menjadi 2,5 jam. Hasilnya aku terlambat tiba di kantor nyaris setengah jam. Pukul sembilan kurang 5 menit. Setelah garuk-garuk kepala dengan sedikit enggan di depan mesin absensi aku langsung menuju pantry dan membuka sarapan pagiku. Titan yang melihatku datang langsung menyusulku sambil berpura-pura menyeduh kopi.
“Kamu pulang bersama Kris?” Tegurnya sambil mengambil kursi di sebelahku. Aku menggeleng tanpa menoleh padanya.
“Dia sampai mengambil cuti tahunannya demi menemanimu di Balikpapan, manis sekali bukan?” Kali ini aku mendongak dengan wajah kaget yang tidak sempat kusembunyikan. Apa aku tidak salah dengar? Atau Titan yang sedang mengada-ada?
“Kenapa, Seli? Apa ada yang salah dengan ucapanku?”
Aku menggeleng cepat, kemudian kembali menatap menu sarapanku. Titan bukan orang yang bisa dipercaya. Dia sering kali bersikap sok tahu demi mengorek informasi apapun dari orang-orang di sekitarnya. Sejak awal mengenalnya , aku lebih memilih untuk tutup mulut dan tidak berurusan dengannya. Aku langsung menyerbu masuk ke ruangan bosku segera setelah menyelesaikan sarapanku. Dia sedang memanggil anak buahnya satu persatu untuk membagikan oleh-oleh yang dibawanya dari Macau.
“Tadi saya memanggil Dipta kalau tidak salah?” Bosku bertanya dengan kernyit di kening. Aku tidak menanggapi dan langsung menarik kursi di hadapannya untuk duduk.
“Ada hal penting yang ingin saya tanyakan, Pak.”
“Sebaiknya kamu lebih dulu mengurus absensimu yang kosong selama empat hari ini ke HRD lalu menjelaskan alasannya pada saya sebelum bertanya macam-macam.”
Aku mendesah berat. “Jadi itu alasan Bapak mengeluarkan surat tugas baru tanpa melibatkan saya di dalamnya?”
Bosku kembali mengernyit kemudian melipat tangannya ke atas meja. “Surat tugas apa, Seli? Saya bahkan belum berpikir untuk melakukan pemeriksaan lagi setelah kejadian yang menimpa Radit.”
Aku membeliak tak percaya. Buru-buru kukeluarkan amplop berisi surat tugas dari dalam tas ranselku dan menyodorkan ke hadapannya. “Saya mendapatkan itu dari Kris.”
Bosku yang usianya masih tiga puluh sekian itu mengangkat sebelah alisnya penuh tanda tanya. Dia membuka amplop dengan hati-hati kemudian membacanya perlahan. Kepalanya menggeleng-geleng begitu selesai dan melipat kembali surat di tangannya.
“Saya tidak pernah menandatangani surat tugas ini. Kamu bisa menanyakannya pada Marsha kalau tidak percaya.” Katanya sambil bersidekap.
“Kapan Kris memberikannya padamu?”
Aku menceritakan semuanya pada bosku, dan setelahnya aku langsung bergegas mencari Marsha. Ada banyak hal yang perlu diklarifikasikan dengannya. Dia sedang merokok di tangga darurat bersama Titan. Senyumnya langsung terkembang begitu melihatku.
“Kenapa kamu membohongiku, Marsha?” Aku langsung menyerangnya tanpa ampun. Titan melongo sambil bangkit berdiri dan menatapku heran, sementara Marsha mengeryit pura-pura bodoh.
“Kamu tidak bersama Kris malam itu!”
Marsha menggeleng-geleng kemudian menekan api rokoknya ke lantai sebelum beranjak mundur. “Aku nggak mengerti maksudmu!”
“Jangan mengelak, Marsha! Aku sudah tahu semuanya. Bahkan surat tugas ini pun palsu!” Kulemparkan remukan kertas di tanganku ke arahnya.
Marsha menampiknya begitu saja. Kemudian berbalik cepat menuruni anak tangga dan langsung berlari seperti orang kesetanan. Aku yang terkejut melihat reaksinya sempat terpaku beberapa saat sebelum akhirnya ikut berlari mengejarnya. Dia tidak menggubris teriakanku sama sekali, bahkan menoleh pun tidak sewaktu aku nyaris terjerembab jatuh karena tersandung langkahku sendiri. Beberapa orang yang kebetulan berpapasan langsung menatap aneh. Apalagi baru kusadari ternyata Titan ikut berlari di belakangku. Pemandangan kejar-kejaran kami pasti sudah mengundang rasa penasaran mereka, tetapi aku sama sekali tidak peduli.