Apa rahasia suatu hubungan bisa bertahan lama?
"Komunikasi," jawabku singkat.
"Itu aja?"
Aku mengangguk. "Lagian, dari semua hal, komunikasi emang paling penting, sih. Dan, pastikan kalau kalian sama-sama saling memahami dengan apa yang disampaikan. Itu baru komunikasi efektif."
"Hebat. Lu belajar dari mana aja? Jujur, gue salut banget, loh. Lu sama Vina bisa lama banget. Karena, dari yang gue denger, Vina itu bosenan banget orangnya."
"Nah, ini," aku menggoyangkan jari telunjuk, "Satu lagi, adalah, jangan terlalu percaya yang begituan. Kalo masih 'katanya' mendingan anggap aja itu angin lalu, sampe lu bener-bener ngebuktiin sendiri."
"Gile, gile, gile, Dav! Omongan lu udah kayak ahlinya ahli percintaan aja!"
"Makanya, Fi, udah gue bilang, lu coba aja! Lu, mah, kebanyakan ngomong doang, ga pernah gerak! Tuh, liat, ntar orang yang lu suka keburu diambil sama orang lain. Lu mau kayak gitu?"
Alfi menggeleng cepat. Aku tertawa dengan tingkahnya yang begitu, padahal dari dulu memang orang yang disukainya selalu berakhir dengan orang lain.
"Eh, Dav, gue penasaran, deh. Lu udah ngapain aja sama Vina?" Alfi mengangkat kedua alisnya sambil senyum-senyum.
"Lu beneran mau tau?"
Alfi mengangguk penuh semangat.
"Beneran, nih? Jangan kaget, ya."
"Iya, ah. Bawel lu, buruan!"
"Buru-buru amat, sih. Pantesan lu jomblo mulu, senengnya yang buru-buru, sih."
"Oi, jangan mengalihkan topik! Buruan, apa?!"
"Hahaha," aku tertawa dengan Alfi yang begitu semangat kalo ngomongin ginian. "Ga banyak, sih. Paling, ya, cuma kayak ngobrol, telponan, main game bareng, kadang nugas bareng, jalan-jalan, nonton ... ya, gitu doang, sih."
Alfi menepuk kedua tangannya. "Pegangan tangan pernah?"
Aku mengangguk.
"Hoo ... kalo pelukan?"
Aku mengangguk lagi sambil mengernyitkan kedua alisku.
"Hmm ... kalo itu?"
Alfi menguncupkan kedua tangannya, lalu membuatnya saling bersentuhan.
"Hampir."
"ANJIIIIR! Kok bisa?"
Aku menepuk dadaku dengan penuh kebanggaan. Alfi kembali bertepuk tangan.
"Kalo yang begitu?"
Belum sempat Alfi memperagakan dengan tangannya, aku memukul kepalanya.
"Udah gila lu, ya! Sampe sana belum, lah. Nanti aja, kalau emang udah resmi."
"Ah sayang banget, punya senjata tapi ga pernah dipake."
"Dari pada lu, punya doang tapi cuma buat pipis."
Dan kamu berdua tertawa bersamaan dengan lelucon barusan. Biasalah, kalau Alfi sudah menyinggung ke arah sana, nanti pembicaraannya bisa semakin ngalor ngidul. Jadi, harus segera dihentikan.
"Ngomong-ngomong, Dav, lu hari ini ga janjian sama Vina?" tanya Alfi.
"Oh, ini lagi nunggu juga, kok. Katanya bentar lagi sampe."
"Wah, asyik, nih. Mau jalan-jalan, ya? Eh, berarti, gue ganggu dong?"
"Iya."
"Iya buat yang mana?"
"Semuanya."
"Ah, parah lu. Ya udah, deh, gue balik dulu. Salam buat Vina, ya. Bilangin kalo ada temennya yang masih jomblo, boleh dikenalin ke Alfi yang ganteng ini. Jangan ketuker sama Alfi palsu dari fakultas sebelah!"
"Hehehe, iya. Ya udah, hati-hati lu kalo mau balik."
"Oke. Gue cabut, ya."
Setelah Alfi pergi, aku memeriksa handphoneku untuk menanyakan keberadaan Vina. Tiba-tba, ada seseorang yang langsung tepat berhenti di depanku. Begitu kulihat, ternyata Alfi yang sedang mengacungkan jari tengahnya. Tanpa rasa bersalah, ia langsung pergi lagi. Aku hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan orang itu.
"Hai, Dav, udah lama nunggunya? Maaf, ya, lama."
Kali ini, datang lagi seseorang. Namun, dari suaranya saja aku sudah tau siapa yang kali ini datang.
"Yo, Vin. Santai, hehe. Mau langsung pergi?"
"Yuk. Eh, bentar, aku mau beli itu dulu, ya."
Vina segera berjalan ke sebuah gerobak yang jualan kebab. Tidak lama, pesanannya sudah jadi. Dan kini, di tangannya ada dua buah kebab yang baru saja masak.