Setiap hal di dunia ini, pasti akan berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Hal tersebut juga dialami oleh Sena.
Sebagai seorang laki-laki yang baru pertama kali bertemu dengan seorang perempuan yang bisa ngobrol banyak dengannya, tentu membuat perasaan Sena menjadi senang tidak karuan. Ia bertemu secara tidak sengaja ketika acara kolaborasi antar kelas X untuk pertunjukkan akhir tahun.
"Kok kamu diem aja, sih?" Tanyanya tiba-tiba.
Sontak Sena terkejut. Tentu saja sedari tadi ia diam, memikirkan topik apa yang menarik untuk dibicarakan ketika pertama kali bertemu dengan orang baru. Terlebih bila pertemuan pertama tersebut dengan seorang perempuan.
"Hehe, iya, aku bingung mau ngomong apa soalnya," jawab Sena sambil menggaruk kepalanya.
Ia hanya menggelengkan kepalanya. Sena kembali memalingkan perhatiannya dari perempuan itu.
"Kenalin, aku Nana," tiba-tiba ia menjulurkan tangannya. Sena hanya melongo menatapnya.
"Kita belum kenalan dengan benar juga, kan? Lagian, emang aneh juga, sih, kalo tiba-tiba ngomong sama orang baru, tapi belum kenalan gitu," lanjutnya.
Sena menjabat tangan Nana, lalu menggenggamnya pelan. "Sena."
"Hehe, gitu dong. Gimana sejauh ini, bisa ngikutin pelajaran di sekolah?"
"Yah, begitulah," jawab Sena ala kadarnya. "Beberapa, sih, bisa, tapi masih banyak yang harus aku pelajari bener-bener."
Sena dan Nana berasal dari kelas yang berbeda. Melalui undian antar perwakilan kelas, kelas mereka dipasangkan untuk pertunjukkan kolaborasi tersebut. Dan, melalui undian juga, nama Sena dipasangkan dengan Nana.
Sebagai seseorang yang pendiam, pada awalnya Sena tidak begitu mengenal Nana. Bahkan Sena baru tahu ada sosok Nana di sekolah itu ketika mereka dipasangkan. Pertemuan dan perkenalan mereka pada awalnya menjadi sangat canggung.
Ketika teman-teman lain sudah mulai mengakrabkan diri dengan pasangan mereka masing-masing, Sena masih saja kebingungan dengan topik yang harus ia bicarakan.
Di mata Sena, Nana adalah salah seorang yang mampu untuk berbicara banyak hal, meskipun Sena hanya menjawab ala kadarnya. Bahkan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk belajar mengobrol lebih banyak, agar tidak hanya Nana saja yang kelihatannya terus menerus mencari topik obrolan.
"Eh, itu ketua kelas kita manggil. Ke sana dulu, yuk," ajak Nana yang tiba-tiba menghentikan obrolannya.
Tanpa sadar, karena terlalu asyik mengobrol tadi, ternyata mereka semua harus kembali berkumpul untuk membicarakan konsep pentas yang akan mereka tampilkan. Sena dan Nana termasuk menjadi yang paling terakhir bergabung, selain beberapa orang yang terlambat karena pergi ke toilet atau malah kabur untuk jajan.
Ada yang pergi sendiri, ada juga yang pergi dengan teman sekelasnya. Hanya Sena dan Nana, yang berasal dari kelas yang berbeda, tapi malah kelihatan lebih akrab dari mereka semua.
"Jadi, kita sebenarnya bakal nampilin apa, sih?" Bisik Nana ketika ketua kelas sedang menjelaskan konsepnya.
"Hmm, bentar. Coba dengerin dulu aja," jawab Sena sambil mengangkat kedua bahunya.
"Emang kamu ngerti dia ngomong apa?"
Sena mengalihkan pandangannya, lalu melihat ke arah Nana. "Enggak."
"Tuh, kan," Nana tertawa kecil. "Tapi, ya udah deh, coba dengerin dulu aja. Siapa tau abis dia komat-kamit gitu, kita semua bisa dapet pencerahan."
Sena mengangguk setuju. Walau dia juga tidak begitu paham dengan apa yang dibicarakan oleh ketua kelas mengenai konsep pentas yang akan dibawakan.
"Baiklah, teman-teman, mungkin cukup sekian untuk hari ini. Kalau ada pertanyaan, silahkan disimpan dulu, nanti pas kita kumpul berikutnya, baru kita bahas lagi, ya. Sekalian udah boleh mulai latihan," ujar ketua kelas setelah menyelesaikan penjabaran konsepnya.
Akhirnya, pertemuan hari itu selesai juga. Beberapa orang memilih untuk langsung pergi, namun ada juga yang masih duduk di sana sambil mengobrol sebentar. Entah membahas konsep acara yang akan ditampilkan, ataupun hanya kembali melanjutkan basa-basinya.
"Eh, Sena, abis ini kamu mau ke mana?" Tanya Nana.
"Ga tau juga. Mungkin aku mau balik aja deh. Kamu gimana?"
"Iya, aku juga. Aku sama temen-temenku itu, yang udah pada nunggu. Kalo gitu, aku duluan, ya. Dah, Sena."
Sena melambaikan tangannya ke Nana, sambil memandangi perempuan tersebut yang perlahan mulai menjauh. Setelahnya, ia juga bersiap untuk pulang.
"Eh, bro, gimana, dapet pasangan sama siapa tadi?" Tiba-tiba ada seseorang yang langsung merangkul Sena, tepat ketika ia hendak berjalan pulang.
"Duh, Sur, kaget gue!" Sena mengelus dadanya berkali-kali sambil berusaha mengatur nafasnya.
"Hehe, maaf Sen. Sama siapa tadi?" Tanya Surya sambil berjalan di sebelah Sena.
"Namanya Nana. Lu sendiri sama siapa tadi?"
"Sama Agata. Gimana, Sen, cakep gak si Nana?"
"Ya elah, Sur, baru juga kenalan udah langsung nanya cakep apa enggak."
"Yang mana, sih, orangnya?"
"Nanti deh, kalo pas kumpul lagi gue tunjukin orangnya."
Surya mengacungkan jempolnya, lalu asyik bermain dengan handphonenya sambil berjalan. Sena yang melihatnya cuma geleng-geleng dengan kelakuan Surya yang kayak begitu.
Sejenak, tanpa memalingkan matanya, Surya mengajukan suatu pertanyaan ke Sena yang menurutnya biasa saja, tapi akan berdampak cukup besar di kehidupan Sena suatu hari nanti.
"Gimana sama itu?"
Sena tidak menjawabnya. Surya juga tidak begitu menunggu jawaban dari Sena. Mereka terus berjalan pulang, tanpa ada kejelasan dari pertanyaan tersebut.
***
Semenjak hari itu, terjadi sebuah perubahan dalam diri Sena. Sesekali, ketika bertemu dengan Nana, ia menyapanya duluan walaupun lebih sering Nana yang melakukannya terlebih dahulu. Tidak jarang juga ketika mereka berpapasan di kantin, mereka malah makan bersama dan mengobrol banyak hal.
Yah, tetap saja Nana yang lebih banyak berbicara daripada Sena. Tapi, bagi Sena, itu adalah hal yang belum pernah ia dapatkan, termasuk ketika sedang berusaha mendekati teman seangkatannya.
Sebelum berkenalan dengan Nana, Sena telah menyukai seorang perempuan yang juga merupakan teman seangkatannya. Namanya adalah Bea. Ia berada di kelas yang berbeda dengan Sena dan Nana.
Pada awalnya, Sena merasa sangat kebingungan untuk mendekatinya. Berbekal dorongan dari Surya, salah satu sahabatnya, Sena berusaha berkenalan dengan Bea dengan sebuah cara yang unik; melalui surat.
Cukup beruntung bagi Sena, surat yang dititipkan ke teman sekelas Bea, dibalas oleh Bea beberapa hari kemudian. Yang tentunya dititipkan juga melalui teman sekelasnya. Merasa senang dengan cara perkenalan yang cukup unik tersebut ternyata berhasil, Sena mulai berkomunikasi dengan Bea lebih sering menggunakan surat.
Beberapa kali ketika mereka hendak berpapasan, keduanya saling menyapa dan melempar senyum. Namun, untuk mengobrol secara langsung dengan Bea, Sena belum pernah melakukannya.
Kembali ke saat ini, ketika seorang Nana memasuki kehidupan Sena.