KUMCERPATI

Johanes Prasetyo Harjanto
Chapter #8

Ulang

Kalau kamu diberi kesempatan untuk mengulang lagi satu kejadian dalam hidupmu, apa kejadian yang akan kamu pilih?

***

Pukul 3 dini hari. Mataku masih enggan untuk terlelap. Kantuk tak jua kunjung datang. Aku masih terpaku pada layer ponselku. Membuka lagi isi galeri, mengenang lagi tiap-tiap foto dan video yang pernah aku ambil melalui kamera ponsel.

Aku menghitung, hanya sedikit sekali fotoku di dalamnya. Aku terus menggeser tiap foto, hingga aku menemukan foto lamaku dengan seseorang yang pernah mengisi hariku. Hari-hari yang dipenuhi dengan bahagia.

Sejenak, aku terpaku. Memandangi terus foto tersebut. Tampak aku dan kamu, tersenyum penuh bahagia. Sekilas, aku mengingat segala kejadian yang terjadi sebelum dan sesudah foto tersebut diambil. Mengingatnya, aku tersenyum cukup lama, sampai aku merasakan ada setitik air mengalir di pipiku.

"Dulu, kita pernah bahagia, kan?"

Tanpa sadar, air mataku kembali mengalir. Lebih deras dari pertama saat aku mengenangmu. Perlahan, aku merasakan sesak di dada. Aku masih memandangi foto tersebut, tanpa sanggup untuk menggesernya sedikitpun.

"Dulu, kita pernah bahagia, kan? Mengapa kita harus berpisah? Mengapa di saat akhir, aku tak sanggup untuk memperjuangkanmu lagi?"

"Tuhan, bolehkah aku mengulang ceritaku bersamanya? Aku ingin memperbaiki semuanya. Setidaknya, izinkan saja, hanya sekali lagi. Setidaknya, di saat terakhir saja, seandainya aku mampu untuk mengucapkannya, mungkin cerita kami tidak akan berakhir seperti sekarang ini. Tuhan, Aku mohon, bolehkah?"

Foto itu masih terpampang jelas pada layer ponselku. Aku tak sanggup lagi untuk melihatnya. Pandanganku buram sebab tertutup air mata yang sialnya terus mengalir deras. Setelah sekian purnama, ketika mengingatmu masih saja sakit yang kurasa.

Dan malam ini, melihatmu kembali meski hanya melalui foto yang tersimpan di galeri ponselku, membuat pikiranku kembali melayang. Berkelana jauh pada hari di mana kamu memutuskan untuk mengakhiri cerita kita dengan aku yang tak lagi sanggup untuk berkata-kata.

***

"Aron, ada sesuatu yang mau aku omongin."

Aron menghentikan langkahnya sejenak. Ia melihat ke arah orang tadi.

"Aku rasa, lebih baik kita jadi temen aja. Kamu ga ada bedanya antara dulu sama sekarang," lanjutnya.

Tidak ada tanggapan dari Aron. Ia hanya terus berdiam, dan tidak lama mengangguk.

"Ya udah, kalo itu maumu, Nis,"

Nisa menatap Aron cukup lama. Tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Setelah lama menunggu, Nisa memutuskan untuk pergi tanpa berkata apapun lagi. Aron hanya melihat kepergian Nisa, dan tak lama ia juga segera pergi meninggalkan kelas. Seolah, tidak terjadi apa-apa di antara mereka.

Malam setelah kejadian tersebut, Aron mengunjungi temannya yang tinggal tidak jauh dari rumah Aron.

"Wei, Aron, tumben mampir. Ada apa, nih?"

"Halo, bang Nando. Ga ganggu kan? Gue mau cerita bang."

"Masuk, Ar. Lu bawa apa itu?"

Aron mengangkat bungkusan di tangannya. "Roti bakar bang. Gue beliin buat abang sekalian."

Melihat ada roti bakar gratis, membuat Nando menjadi senang bukan main. Ia mempersilahkan Aron untuk masuk dan duduk di terasnya.

Daripada mendengarkan Aron bercerita, tangannya malah lebih sering mencomot roti bakar yang tadi dibawakan oleh Aron.

"Gue abis putus, bang," kata Aron.

"Sama Nisa? Kok bisa? Ada masalah kalian?"

"Ga ada sih, bang. Tiba-tiba aja kayak gitu."

Nando mencomot lagi roti bakarnya. "Kenapa?"

Aron menghela nafasnya. Ia mengambil roti bakarnya, tapi bukannya dimakan ia malah memandangi roti bakar tersebut.

"Ga ada masalah sih, bang. Awalnya, gue emang mau putusin dia. Tapi, ternyata, malah dia duluan yang mutusin gue," lanjut Aron sambil kemudian mengunyah roti bakarnya.

"Kok lo mau putus, Ar? Ada masalah kalian?"

"Justru itu bang," Aron mengambil lagi roti bakarnya yang terakhir. "Gue ga tau kenapa, tapi, gue rasa hubungan gue, tuh, kayak jalan di tempat bang. Gue ngerasa bosen gitu. Dan, belakangan, emang gue sempet kepikiran untuk mengakhiri hubungan ini aja. Tapi, udah keduluan dia yang ngomong."

Nando menenggak minuman yang sempat ia ambil sebelumnya. Tak lupa ia bawakan juga segelas air putih untuk Aron. Ia memandangi lagi bungkusan roti bakar yang sudah habis itu, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke Aron.

"Emang dia bilang apa, Ar?"

"Katanya, sih, gue ga ada bedanya bang dari yang dulu sama sekarang."

"Maksudnya? Kan, berarti lo ga berubah? Terus kenapa harus putus segala?"

Aron menghela nafasnya. "Iya, bang. Tapi, katanya gue sama kayak pas dulu deketin dia dengan yang sekarang. Terus juga, gue dibilang makin cuek belakangan ini, bang. Jadi, ya, gitu deh, gue malah diputusin sekarang."

"Yah, sayang banget, Ar. Tapi, ya udah lah, ya. Namanya juga hidup, kan, ga ada yang tau. Kira-kira, nanti lo bakal balikan ga?"

"Ga tau juga bang. Kayaknya, sih, enggak bang. Juga sementara gue pengen sendiri dulu aja. Rasanya enak, kok, kayak ga ada beban juga. Jadi, ga masalah, sih."

Nando mengangguk. Kemudian mereka melanjutkan obrolan mereka dengan beragam topik. Setidaknya, untuk mengalihkan pikiran Aron dari situasi yang ia alami barusan. Lebih sering mereka membicarakan topik seputar olahraga, masalah perkuliahan, dan juga beberapa topik lain yang bisa diomongkan.

Setelah cukup lama mengobrol, Aron memutuskan untuk pulang, mengingat waktu sudah tengah malam juga.

***

Bagi Aron, awalnya memang terasa biasa saja. Ia merasa seperti terbebas dari belenggu yang mengikat dirinya. Hari-harinya terasa lebih menyenangkan. Ia lebih bersemangat untuk mengikuti kuliah. Seolah hubungannya dengan Nisa kemarin bukan menjadi persoalan yang berarti untuk Aron.

Sayangnya, hal tersebut tidak bertahan lama. Mungkin untuk Aron, sekitar dua minggu setelah putus adalah saat-saat paling membahagiakannya. Namun, belakangan, Aron menyadari suatu hal. Ia merasakan sebuah kekosongan yang belum pernah ia rasakan. Meski sebelum bersama Nisa, Aron sudah pernah mengalami perpisahan, namun, kali ini ia merasa berbeda.

Lihat selengkapnya