Bagaimana cara untuk mengucapkan selamat tinggal kepada hari kemarin? Rasanya, semua yang terjadi, masih begitu membekas dalam ingatanku. Bagiku, terasa sangat sulit untuk melupakannya, tentang hal-hal yang pernah kita alami bersama, yang kini sialnya harus aku jalani sendiri.
Hari-hari terus berlalu, orang-orang datang dan pergi, beberapa sudah melupakan, namun, entah bagaimana, rasanya aku masih berada pada hari tersebut. Hari di mana aku kehilangan sesuatu yang berharga untukku, dan itu adalah kamu.
***
"Eh, coba lihat, deh," kataku sambil berputar untuk memperlihatkan sekitarku.
"Ih, bagus banget! Kamu lagi di mana ini?" Tanyamu di seberang sana, sambil berdecak kagum menikmati latar langit berwarna jingga, dengan matahari yang tengah tenggelam.
"Ga tau, aku lupa, sih. Bagus ga?"
"Keren parah! Tapi, kamu tuh kebiasaan, ya. Kalau yang bagus gitu, kamu nelponnya pasti telat. Jadinya, aku cuma bisa lihat pas sisa gelapnya aja."
"Hehehe, maaf, Safira," ucapku sambil tertawa. "Sebetulnya aku tepat waktu kok, cuma dia aja yang langsung hilang pas liat kamu. Cemburu kali, ngeliat ada yang lebih indah darinya."
Mendengar itu, kamu malah tersipu malu. "Dasar, kebiasaan."
"Gimana kabarmu? Sekarang jam berapa di sana?"
"Halah, basa-basi mulu. Hitung sendiri, sana!"
Aku tertawa kecil. Tidak terasa sudah hampir tiga tahun ini aku menjalani hubungan jarak jauh bersama Safira. Kami terpaksa berpisah karena Safira yang menempuh kuliah di luar negeri, sedangkan aku tetap di sini.
Tapi, untunglah, teknologi sudah semakin berkembang. Kami tetap dapat bertemu, meski raga kami terpaut ribuan kilometer, dan meski masih tersisa rindu yang tak kunjung tuntas setelah pertemuan-pertemuan di layar kaca.
"Menyebalkan," kataku pura-pura cemberut.
"Hahaha, Ray, stop. Mukamu jelek banget kalo cemberut gitu. Banyak lipatannya kayak baju ga disetrika 10 tahun," ucap Safira sambil berusaha menahan tawanya.
"Biarin aja. Jelek-jelek gini, kamu juga suka, kan?"
"Huuu, dasar. Masih berapa gombalan lagi, nih?"
"Ditanya kok malah balik nanya lagi."
"Hahaha, dasar, Ray," Safira menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Oh iya, maaf Ray, aku harus berangkat sekarang, nih. Katanya dosennya ini galak, jadi aku ga boleh telat."
"Yahhh. Ya, udah, hati-hati, ya, Saf."
Safira melambaikan tangannya sambil tersenyum. Aku membalas lambaian tangannya, dan tak lama setelah itu, panggilan ditutup olehnya. Aku menghela nafas, memandangi sisa-sisa langit yang perlahan mulai berubah menjadi gelap. Setelah cukup lama duduk, aku memutuskan untuk pulang menuju ke kos dengan menggunakan sepeda motorku yang tadi terparkir di dekat pantai.
Belakangan ini, aku merasa ada yang berbeda darinya. Safira jadi lebih sering cepat tidur, padahal rasanya masih belum terlalu malam di sana. Lalu, juga terkadang Safira tidak membalas chatku sampai beberapa hati. Katanya, sih, karena sibuk dengan tugas kuliahnya yang lagi menumpuk.
Yah, benar kata orang, hubungan yang terpisah jarak seperti ini sangatlah berat. Selain oleh jarak, waktu pun tidak mengenal ampun dalam mengawasi kami. Beberapa kali, kami harus bertengkar, meski sebagian besar hanya karena masalah sepele saja. Ada, sih, yang bisa langsung selesai, tapi, tak jarang kami harus menghilang selama beberapa hari untuk meredam ego kami.
"Aku nemu tempat yang bagus, nih. Katanya bisa lihat bintang di sana. Mau ke sana, ga?," ucapku suatu hari ketika kami sedang melakukan video call.
"Sungguh? Kapan?" Tanya Safira dengan girang.
"Makanya, pulang. Nanti kita bareng ke sana, ya?"
"Janji, ya?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk. Aku memang sudah merencanakannya sejak lama, bahkan jauh sebelum jarak memisahkan kita. Namun, karena dulu Safira harus berangkat lebih awal, aku menunda rencana tersebut sampai pada waktu yang aku sendiri belum tau kapan. Dan selain itu, aku juga memiliki segudang rencana lain yang tertunda akibat perpisahan kami dulu. Semoga aku bisa mewujudkannya suatu saat nanti.
***
Waktu terus berlalu, dan kami masih seperti biasanya. Kalau dulu Safira yang sering lupa untuk membalas chat, kali ini malah giliranku yang sering lupa.
Maklum, sebentar lagi ada acara peringatan ulang tahun kampusku. Kebetulan aku dipilih oleh pihak BEM sebagai ketua pelaksananya. Hal tersebut cukup menyita waktuku. Jangankan Safira, kadang saja aku sampai tidak sempat mengurus diriku sendiri.
Saat aku menjelaskan alasannya ke Safira, beruntunglah Safira mau mengerti. Dia mendukungku untuk melaksanakan acara dengan sebaik-baiknya, walau dia tidak tau dukungan apa yang harus dia berikan.
Ketika ada waktu kosong, aku menyempatkan diri untuk menghubunginya sebentar. Persiapan acaranya sendiri memakan waktu sekitar tiga bulan lebih, sehingga menurutku, hal tersebut semakin menambah jarak di antara kami.
Keadaan tersebut terus berlanjut sampai hari acara tiba. Aku dan seluruh panitia merasa senang, karena semua berjalan dengan lancar. Meski beberapa kali terdapat masalah, namun, kami dapat menyelesaikannya dengan baik. Bahkan Bapak Rektor juga mengucapkan terima kasih kepada kami atas acara peringatan ulang tahun kampus ini.
Selesai acara, kami merapikan tempat dan melakukan evaluasi singkat. Kebanyakan panitia langsung pulang setelah evaluasi selesai. Aku masih berada di lokasi, duduk termenung sambil menikmati langit malam itu.
Kebetulan langit sedang begitu cerah, dan bintang bersinar dengan indah. Itu sama persis dengan apa yang ingin aku tunjukkan ke Safira. Aku mengabari Safira ia chat kalau acaranya sudah selesai, dan tidak lupa memfotokan langit malam itu untuk Safira.
"Eh, bapak ketua, sendirian aja, nih? Selamat, ya, acaranya sukses banget, nih." Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku.
Betapa terkejutnya aku ketika melihat siapa yang menepuk pundakku.
"Safira?! Astaga, sejak kapan kamu di sini?" Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat.
"Hei, biasa aja, dong, kagetnya. Nih, buat kamu. Selamat, ya." di tangannya terdapat sebuah botol minuman dingin kesukaanku.
Seketika, aku berdiri lalu memeluknya. Ada banyak rindu yang tertahan dalam diriku. Dan sekarang, secara mengejutkan, sosoknya hadir secara utuh. Sebenar-benarnya Safira yang tidak lagi terpisah di layar kaca.
"Gilaaa. Ini beneran, nih?" Aku melepaskan pelukku, memandangnya dari atas ke bawah, dan memastikan kalau kakinya memang menapak tanah.
"Ya elah, Ray, emang aku hantu apa?"
"Maaf, aku kaget banget. Kapan sampai? Kok ga ngabarin?"
"Biar surprise, hehehe. Oh, iya, nih, buatmu. Diminum, ya, kalau bisa botolnya diminum sekalian biar ga ngotorin tempatnya ini."
"Terima kasih, Safira. Kamu memang yang terbaik." Dan tidak lama, isi dari botol tersebut sudah habis ku minum. "Sampai kapan di sini?"
"Aku udah semingguan sih, di sini. Terus, ada ngurus sesuatu juga. Dan karena udah selesai, jadinya besok harus udah balik," ucapnya sambil sedikit sedih.
"Yah, cepet banget, padahal aku masih kangen ..." kataku pelan. "Habis ini langsung balik?"
Safira menggeleng. "Ga sih. Aku belum ngantuk juga, kayaknya gara-gara jet lag, deh."
"Halah, gaya-gayaan, jet lag segala," kataku sambil sedikit menjulurkan lidah. Safira malah ikutan menjulurkan lidahnya. "Ya udah, mau pergi aja? Ngeliat bintang, yuk? Mumpung cerah ini."