Asap itu bergerak memenuhi udara di sekitarnya. Ia masih saja memandangi asap yang baru saja keluar dari mulutnya.
"Kamu yakin sama keputusan ini?"
Ia memalingkan pandangannya dari asap tadi. Menatap kembali orang di depannya.
"Ben?"
Yang dipanggil mengangguk. Ia menghisap dalam-dalam rokoknya, lalu menghembuskannya perlahan.
"Tapi, kenapa?"
Ben meletakkan rokoknya. "Aku rasa, kita ga seharusnya jalan lebih jauh lagi, La."
"Apa kamu tega ngebuang lima tahun yang udah kita jalani bareng? Lima tahun, Ben! Itu bukan waktu yang sebentar, loh."
"Aku tau, La. Dan, aku sendiri juga ga mau untuk ngebuang waktu yang udah pernah kita jalani bareng ini."
"Terus kenapa, Ben?"
Ben menggelengkan kepalanya pelan. Ia menyalakan lagi rokoknya yang baru, menghisapnya sedalam mungkin lalu mengeluarkan semuanya.
"Apa ini gara-gara dia?"
"Dia?"
"Apa perlu aku sebut?"
Ben kembali menggelengkan kepalanya.
"Terus, kalau gitu, apa, Ben? Kalau emang bukan karena dia, terus, apa yang membuatmu akhirnya begini?"
Ben kembali terdiam. Tidak tau apa yang harus diucapkannya.
"Diammu itu udah menjelaskan semuanya, Ben," ujar Ola sambil menghela nafasnya. "Dari semua, kenapa harus dia lagi, sih, Ben? Kenapa harus Sally?" Kenapa, Ben?"
Air mata Ola turun perlahan di mata kirinya. Buru-buru ia menyekanya.
"Maaf, La. Aku sendiri juga ga tau, kenapa."
"Aku selalu bilang sama kamu, Ben. Aku akan ngasih semuanya untukmu. Apapun itu. Sekalipun itu harus mengorbankan apa yang aku punya. Aku ga pernah minta apa pun dari kamu, kecuali untuk dekat sama dia! Kamu tau, kan, seberapa besar aku sayang sama kamu?"
"Aku tau, La. Dari setiap yang kamu lakuin buat aku, aku selalu tau, La."
"Terus, kenapa pada akhirnya kamu milih Sally?"
Tidak ada kata-kata dari Ben. Ia memandangi Ola yang sedang berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh lagi.
"Aku sadar, kalau aku emang ga punya semua yang dia punya. Dan, terkadang, saat kepikiran itu, membuatku sesak, Ben! Itu alasanku untuk memberikan semua yang aku punya. Karena hanya dengan itu, yang aku yakin akan membuatmu bisa bertahan sama aku, Ben."
Ola mengatur nafasnya. Sebisa mungkin agar emosinya tidak meluap-luap.
"Kamu tau, kan, seberapa aku benci sama dia?"
Ben mengangguk pelan.
"Terus, kenapa harus Sally, sih, Ben? Ini aku, loh. Aku! Aku yang udah ngasih seluruhnya ke kamu, dan sekarang kamu milih dia yang bahkan udah ga tau kabarnya gimana?!"
"Mungkin karena itu, La. Kamu memberi semua yang kamu punya ke orang yang bahkan separuh saja tidak pernah bisa membalasnya. Dan, sayangnya, itu adalah aku. Seorang brengsek yang tidak pernah menyadari, bahwa sekarang ia harus mengakhiri cerita kesukaannya."
Ola kembali menghapus air mata yang menetes dari kedua matanya.
"Tapi, La ... Aku sendiri juga ga mau kalau ternyata, perpisahan kita ini harus berakhir dengan kayak begini. Aku juga ga mau ngebuang begitu aja semua kenangan kita selama lima tahun belakangan ini."
Kali ini, tidak ada jawaban dari Ola.
"Ola ... Mungkin, kita ga perlu menjadi asing dan menjalani semuanya dari awal lagi, kan? Untuk seterusnya, apa kita masih bisa berteman?" Tanya Ben.
Ola menggeleng pelan. Seketika, sekujur tubuh Ben seperti tersambar petir.
***
Semenjak putus, Ben seolah menjadi orang yang berbeda. Tidak ceria seperti biasanya. Dan kini, satu bungkus rokok yang bisa ia habiskan dalam dua hari, malah berganti menjadi dua bungkus rokok dalam satu hari.
Ben menyadari keputusan yang ia pilih akan menjadi seperti ini. Jauh sebelum sekarang, beberapa kali ia ingin mengakhiri hubungannya. Tapi, Ola dengan segala tindakannya, berhasil membuat Ben mengurungkan niatnya dalam mengakhiri hubungan mereka.
Perkataan Ola di hari terakhir mereka masih terus terngiang dalam kepala Ben.
"Kenapa harus Sally, Ben?"
Ben menghisap rokoknya sedalam mungkin, lalu menghembuskannya perlahan.
"Sayangnya, aku juga ga tau, La," gumam Ben sambil memainkan rokoknya.
Bertahun-tahun sebelumnya, Ben dan Sally adalah teman satu angkatan di SMA. Di antara kelompok pertemanan mereka, Ben dan Sally merupakan dua orang yang paling dekat. Tidak jarang, kalau Ben tidak ada pas mereka kumpul, maka Sally juga tidak ikut kumpul. Bahkan, Sally sering juga nebeng di mobilnya Ben, meski ia memiliki kendaraan sendiri atau ketika ada teman-teman ceweknya yang menawarinya tebengan.