Mengapa semua ini terasa begitu menyakitkan padahal sebuah komitmen tak pernah terucapkan antara aku dan dia selain dari sebuah hubungan ukhuwah dan silaturahmi semata?
Tapi itulah yang kini aku rasakan. Rasa sakit dari luka yang tanpa kusadari tercipta oleh kekagumanku padanya.
Karena kini aku dan dia semakin dekat dan akrab meski tak pernah sekalipun keluar kalimat yang menegaskan seperti apa hubungan kami dari mulut kami berdua.
“Mengapa adik tak pernah mengatakan kalau sebenarnya adik telah dilamar?”
Dia terkejut. “Abang tahu darimana?”
Aku menatapnya. “Bukankah agama kita melarang seorang lelaki mendekati seorang wanita yang telah dilamar dan belum memberikan jawaban? Agar tidak terjadi kesalahpahaman yang bisa memunculkan fitnah nantinya. Dan bukankah wanita itu harus membatasi pergaulannya dengan lelaki lain untuk menjaga dirinya sendiri agar bisa mengambil keputusan tanpa terpengaruh oleh siapapun?”
Dia menundukkan wajahnya. Tapi aku melihat kesedihan dari wajahnya.
Karena semuanya telah jelas adanya.
Awalnya aku mendapatkan kabar ini dari seorang teman yang kebetulan mengetahui tentang lamaran itu dan memberitahukannya padaku.
“Aku tak punya maksud apapun mengatakan semua ini padamu kecuali untuk kebaikanmu sendiri.” Kata temanku. “Aku tak bermaksud menyakiti hatimu. Aku juga tak bermaksud merusak hubungan persahabatanmu dengannya. Aku Cuma tak ingin sahabat baikku menjadi sebuah fitnah yang hadir dari kesalahpahaman. Kau tentu tahu bukan apa hukumnya bagi kita kaum lelaki bila mendekati seorang wanita yang telah dilamar dan belum memberikan jawaban? Dia telah dilamar. Dan dia belum memberikan jawabannya. Itulah sebabnya aku menceritakan semua ini padamu agar kau tahu dan mengerti. Haram hukumnya bagi kita mendekati wanita seperti itu karena mungkin saja kita bisa menjadi bagian dari alasan untuknya mengambil keputusan. Tidak boleh itu.”
Karena itulah akhirnya aku memberanikan diri menanyakan semua ini padanya. Agar aku bisa menempatkan diri agar fitnah itu tidak datang menghampiri kami.
Dan dia mengakuinya. Dia akhirnya menjelaskan semua itu padaku.
Dia telah dilamar oleh seorang lelaki putra teman uminya sekitar dua minggu lalu. Dua minggu! Waktu yang sebenarnya cukup untuk menceritakannya padaku agar aku segera bisa mengambil sikap.
“Kenapa adik tidak pernah menceritakannya pada abang?” kataku. “Mengapa adik seakan membiarkan fitnah itu mendekati kita padahal adik sendiri tahu bahwa saat ini adik belum memberikan jawaban atas lamaran itu?”
Dia diam.
Aku menghela nafas.
“Berapa lama batas waktu yang adik minta untuk memberikan jawaban?” kataku lembut.
Dia menatapku. “Satu bulan.” jawabnya lembut. "Tapi mungkin juga bisa lebih cepat dari itu."
Aku terdiam sejenak. Mencoba untuk menenangkan diri agar emosiku tak terlihat dari wajahku.
“Mungkin lebih baik mulai saat ini kita tidak bertemu dulu.”
Dia menatapku tajam. “Kenapa?”
Aku menundukkan wajah mencoba menyembunyikan perasaanku didepannya. “Agar tidak muncul kesalahpahaman yang bisa menjadi fitnah untuk kita berdua. Agar adik bisa memberikan jawaban dengan lebih baik lagi dan tidak terpengaruh oleh siapapun, termasuk dari abang.”
Dia tak menerimanya. Walaupun dia mengetahui dan memahami hukum dan posisi dirinya, tapi tetap saja dia keberatan dengan apa yang seharusnya kami lakukan.
Dan ternyata memang tak mudah untuk menerima kenyataan. Karena setelah itu kini aku seakan menyesali diri dengan apa yang telah terjadi.
Karena kini semuanya terasa berat untukku jalani. Bersiap untuk menerima kenyataan bahwa suatu hari nanti dia akan menjadi milik orang lain. Dan aku tak akan pernah bisa lagi menjalin ukhuwah dengannya seperti dulu.
Andai sejak dulu aku telah mengenal akrab agamaku, mungkin akan mudah untukku berlaku ikhlas menerima semua ini. Dengan pegangan ilmu dan pendalaman agama yang telah tertanam kuat, mungkin rasa sakit ini bisa berubah menjadi butiran tasbih zikir untukku melafaskan Asma Allah.
Tapi waktu tak bisa kuputar kembali. Dan aku hanyalah seorang lelaki yang baru mencoba mengakrabi agamaku. Dengan keterbatasan ilmu dan pemahaman akalku yang masih sempit, aku menyesali waktuku yang telah terbuang sia-sia.
Karena halangan terbesar yang kurasakan dalam hidupku adalah waktu. Masih banyak yang harus aku lakukan. Masih banyak ketertinggalan yang mesti ku kejar. Tapi waktu begitu kejam. Waktu tak pernah mau mengerti. Waktu terus berjalan kaku dalam takdir yang telah diberikan Tuhan padanya membuatku tak banyak meraih arti dalam hidup dan terkadang hanya bisa menyesali diri.
Mengapa semuanya bisa sesakit ini? Padahal kami hanya menjalin ukhuwah dan tali silaturahmi sebagai sahabat. Padahal dia bukanlah wanita pertama yang pernah dekat dengan diri ini. Dulu, kala aku mengakhiri hubungan dengan wanita dimasa silamku, aku tak pernah merasakan sakit seperti ini. Aku memang merasakan kekecewaan. Aku juga bersedih. Tapi aku tak pernah sesakit ini. Dan dia, dialah wanita pertama yang membuatku merasakan sakit seperti ini.
Mungkin rasa kekagumanku padanya yang berlebihanlah yang membuatku merasakan sakit seperti ini. Mungkin rasa kagumku ini membuatku tanpa sadar menaruh harapan yang terlalu indah padanya. Harapanku yang seakan menemukan rembulan yang akan menerangi hati ini dalam dirinya.
Dan bayangan kelam masa lalu kembali hadir. Bayangan malam kala langit mencampakkanku kedalam kegelapan. Rembulan yang semula hadir dihati kini seakan hilang entah kemana. Aku seakan-akan dipaksakan kembali merasakan kekosongan hatiku sendiri.
Mungkin seperti inilah rasa sakit yang dirasakan oleh wanita-wanita yang pernah dekat denganku dulu yang kecewa karena aku memutuskan hubungan dengan mereka. Rasa kecewa karena terlanjur menaruh harapan namun berakhir menyakitkan. Mungkin aku memang ditakdirkan untuk merasakan segala kesalahan yang dulu pernah aku lakukan agar aku bisa berlaku sabar, ikhlas dan pasrah. Agar aku tidak mengubah arah hidupku mengenalNYA hanya karena cobaan yang DIA berikan. Aku hanya harus memperbaiki jalan hidupku menuju kehadiratNYA.
Karena selalu ada alasan dan penjelasan dari sesuatu yang dia berikan dalam hidup ini. Dari cobaan-cobaan yang DIA berikan untukku. Karena DIA Maha Memahami. Dan kita tak akan pernah mampu untuk benar-benar mengerti.
Aku duduk bersandarkan dinding kamar menatap tasbih dan peciku yang berada diatas hamparan sejadah.
Sejak aku memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengannya, kegelisahan kini menjadi teman dekatku. Aku tak pernah lagi terlena dalam buaian mimpi. Aku tak pernah lagi bisa memejamkan mata sedetikpun untuk hanyut dalam buaian malam. Karena kini aku merasa seakan terlelap dalam tidur bagaikan seorang teman yang tak kunjung datang menghampiri. Aku kini sibuk bermain dalam perasaanku sendiri.
Bahkan niat untuk mengerjakan sholat tahajud tak jua terwujudkan karena mata ini tak jua mau terpejam. Aku terpaksa mengganti niat tahajudku kepada sholat lail. Dua rakaat. Empat rakaat. Enam rakaat. Delapan rakaat. Aku mengerjakan sholat lail dengan perasaan kacau.
Apakah semua ini karena begitu dangkalnya ilmuku melindungi hatiku? Apakah karena begitu tipisnya imanku menjaga diriku?