Aku berdiri kebingungan didepan rumahnya. Keberanian yang tadi ada kini hilang entah kemana. Aku terpaku menatap pintu rumahnya dan bertanya-tanya, apa yang aku lakukan disini?
Dan itu berawal saat temanku mengabarkan padaku kalau dia menolak lamaran itu.
“Disini rupanya dirimu berada.”
Aku tersenyum mendengarkan kalimat temanku.
“Susah bener nyarin kamu belakangan ini.” Katanya. “Ustad nanyain kamu terus, tuh.”
Aku menatapnya. “Ustad nanyain aku? Kenapa?”
“Pake nanya lagi. Sudah berapa lama kau tidak datang ke pengajian?”
Aku diam. Sejak aku memutuskan untuk menghindarinya, aku tak lagi pernah datang ke pengajian. Aku sengaja melakukan itu semata-mata ingin menghindarinya, wanita yang mampu membolak-balikkan hatiku. Aku ingin membenahi hatiku terlebih dahulu agar siap kala kembali berjumpa dengannya. Aku tak ingin segala usahaku menenangkan hati menyadarkan diri menjadi sia-sia hanya karena tak mampu menahan kerinduan tak bernamaku ini.
Aku bahkan tak pernah lagi sholat dimasjid tempat pertama kali kami bertemu.
“Sampai kapan kau mahu menghindar begitu?”
Aku pura-pura tak mengerti. “Menghindar apa?”
“Jangan sok gak tahu deh.” Kata temanku. “Kau sengaja tak pernah datang lagi kepengajian karena ingin menghindarinya bukan?”
Aku hanya diam.
Temanku menghela nafas,. “Kita berdua bukan anak abg lagi. Kita sudah dewasa. Sudah tua malah. Seharusnya kau bisa menyelesaikan masalahmu dengan lebih dewasa lagi. Tidak dengan cara lari menghindari masalah.”
Aku tetap diam sambil mengedipkan mataku. Memang benar apa yang temanku katakan. Aku memang bukan anak abg lagi. Aku adalah seorang lelaki dewasa. Tak seharusnya aku lari menghindari masalah.
“Dia menolaknya.”
Aku menghentikan kegiatanku. “Apa?”
Temanku menatapku tajam. “Jangan pura-pura tak dengar dengan pertanyaanmu itu.” Katanya. “Kau pasti tahu apa yang aku maksudkan.”
Aku kembali diam dan kembali mengalihkan perhatian pada kegiatanku.Temanku tampak gregetan dengan sikapku. “Dalam keraguan, terkadang sebuah kesalahan dalam sekejap bisa berubah seolah-olah menjadi sebuah kebaikan. Seolah-olah kesalahan yang kita lakukan adalah tindakan terbaik yang memang harus kita lakukan. Seolah-olah semua itu adalah sebuah pengorbanan. Dan kita terus-menerus membohongi diri kita sendiri untuk mempercayainya.”
Aku kembali menatapnya. “Maksudmu?”
Temanku tersenyum tipis. “Sampai kapan kau mau membohongi dirimu sendiri? Aku yakin kalau sebenarnya kau sudah tahu kalau dia menolak lamaran itu. Dan aku yakin kalau maksudmu menhindarinya hanya karena kau tidak ingin orang-orang berpikir bahwa kaulah penyebab dan alasan penolakannya. Kau hanya tak ingin membiarkan fitnah dan kesalahpahaman itu datang mendekatimu dan dia, kan? ”
Aku memiringkan sedikit kepalaku memberi isyarat padanya bahwa aku menginginkan penjelasannya.