Baru kali ini aku merasa gugup kala berada bersamanya…
Dia duduk tepat didepanku, dikursi ruang tamu rumahnya. Jarak kami hanya dipisahkan oleh sebuah meja kayu antik berwarna coklat dengan dua cangkir teh diatasnya.
Dia tahu kalau aku suka sekali minum teh.
Tadi orangtuanya ada bersama kami. Dan akupun diperkenalkan untuk pertama kalinya.
“Jadi inilah salah satu alasan itu?” kata uminya.
Aku hanya diam tak mengerti.
Kedua orangtuanya menyambutku ramah. Tapi tak banyak yang kami bicarakan. Kedua orangtuanya hanya menanyakan beberapa pertanyaan saja padaku lalu meninggalkan kami berdua.
Orangtuanya seakan mengerti bahwa ada yang harus dibicarakan antara aku dan dia.
Untuk sesaat kami berdua saling diam.
Tak mudah bagiku untuk memulai percakapan. Terlebih lagi bila menyangkut perasaan hatiku yang selama ini coba kujaga keagungannya.
“Abang apa kabar?”
Aku menatapnya. “Baik.” Jawabku. “Adik sendiri bagaimana kabarnya?”
Dia tersenyum. “Adik juga baik.” Jawabnya. “Sudah lama abang tidak menghadiri pengajian. Kenapa?”
Aku diam. Aku ingin sekali menanyakan tentang lamaran itu padanya. Tapi aku kesulitan menyusun kata-kata.
“Iya.” Jawabku pendek. Aku ingin mencoba melakukan sesuatu untuk mendapatkan kembali apa yang selama ini telah hilang dari hatiku. Aku ingin hatiku bisa kembali merasakan keikhlasan yang dulu pernah menjadi bagian dari perjalananku mengenal tuhan.
Aku menghela nafas. Jika aku terus begini semuanya tak akan pernah bisa berjalan dalam kepastian dan kejelasan yang aku inginkan. Dan nasehat temanku semalam akan menjadi sia-sia belaka.
“Nasehatku,” kata temanku semalam, “Sebelum kau mengungkapkan keinginanmu sebaiknya kau benahi dulu hatimu. Agar apa yang kau ucapkan benar-benar terlahir dari tulusnya hatimu.”
Dan memang benarlah adanya. Karena selama ini aku merasa seakan-akan hidup dalam bayang-bayangku sendiri. Aku selalu mencampur adukkan mimpi dengan kenyataan. Angan dengan keyakinan, hingga membuatku merasa tersesat dilembar hatiku sendiri.
“Apakah kabar itu benar?”
Dia menatapku tajam. “Kabar apa”
Aku menghela nafas. “Kabar tentang lamaran yang adik dapatkan. Karena kini abang mendengar bahwa adik menolak lamaran itu.”