Dan perjuangan pun dimulai...
Aku terkejut saat dia memperkenalkan dirinya. Ternyata inilah lelaki yang lamarannya ditolak adik.
“Aku hanya ingin tahu saja. Hanya ingin berkenalan dengan lelaki yang membuat lamaranku ditolak.”
Aku menatapnya. Umurnya mungkin lebih muda dariku. Mungkin sekitar dua tahun.
Aku tersenyum. “Maafkan aku. Tak ada sedikitpun niatku untuk menjadi penyebab ditolaknya lamaranmu.”
Dia tersenyum tipis. Dan aku menangkap ketidakpercayaannya mendengar jawabanku.
“Apa kau mencintainya?” katanya sambil menatapku tajam.
Aku menatapnya tak mengerti.
“Atau kau hanya sekedar mencintainya tanpa ada niat untuk segera menikahinya?”
Aku semakin tak mengerti.
Dan dia kembali tersenyum tipis. “Karena aku tak hanya sekedar mencintainya. Aku bermaksud untuk segera menikahinya.”
“Maksudmu?”
Dia menghela nafas. “Karena aku tak ingin berlama-lama memuja perasaan. Dan aku juga tak ingin dia ikut merasakan bagaimana musryiknya memuja cinta yang belum halal. Aku ingin menyelamatkan imannya. Aku ingin menyempurnakan ibadahnya. Dan itu hanya bisa terpenuhi dalam ikatan pernikahan.” Katanya. “Tidakkah kau merasa ikut bertanggung jawab untuk melindungi aqidahnya dari permainan perasaan?”
Aku kembali terdiam. Aku mengerti apa yang dia katakan. Bahwa pernikahan itu menyempurnakan 50% keimanan kita. Dan 50% lagi adalah ketaatan. Bahwa Rasulullah bersabda; pernikahan merupakan sunnah rasul, dan barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku bukanlah golonganku.
“Padahal kau tahu bahwa pernikahan itu bisa menyelamatkan iman seseorang dan menjauhkan zina. Tapi mengapa kau biarkan dirimu tenggelam dalam perasaan cinta? Dan yang lebih membuatku tak bisa menerima dari apa yang telah kau lakukan adalah kau bawa-bawa dia kedalam pemujaan cintamu itu. Kau jadikan dia bagian dari zina hati yang kau lakukan. Kau biarkan dia ikut menikmati dan memuja-muja cinta itu seakan-akan itu halal untuk dilakukan.”
Apa yang dia katakan memang benar adanya. Dan inilah perbedaan terbesar antara aku dan dia.