Kumpul Kebo

Soh
Chapter #2

Dua

Kepala terasa pening saat aku membuka mata dan menatap sekitar sambil sesekali mengernyit. Ngilu di pergelangan tangan mulai reda. Jilbab yang semula membelit luka, kini diganti dengan perban putih yang nampak kecokelatan di bagian yang tersayat. Aku refleks duduk saat melihat lelaki asing bersandar di pintu, tengah memandang kemari sambil tersenyum kecil. Lalu dengan kedua tangan di saku jas putih panjangnya ia melangkah mendekat. 

"Hai," sapanya sambil duduk di bibir ranjang yang kududuki. Ia tersenyum lebar, terus menatapku tanpa kedip.

"Syukurlah, setelah 18 jam-an gak sadar, akhirnya kamu siuman. Kamu kehabisan banyak darah. Oh, ya, kenalkan, aku Ardian. 28 tahun. Panggil aja Ian," ucapnya sambil mengulurkan tangan yang hanya kubiarkan terus mengambang di udara. Ia tersenyum kecil, perlahan menurunkan tangan.

Aku mengerjap. Delapan belas jam? Aku menatapnya takut-takut. Tubuh tinggi tegap, mata sendu, rambut sedikit keriting, kulit sawo matang, dengan wajah tirus yang terlihat ramah. Ia memiliki dua gigi gingsul dan lesung pipi, membuatnya terlihat menawan saat bibir tipisnya mengembang lebar. Ia juga terlihat ramah. Jika umurnya 28 tahun, berarti ia lebih muda setahun dari Mas Aswin. Selisih setahun lebih tua dariku. 

"Lelaki yang bersamaku ... mana?" Aku menatap sekeliling. Ruangan lebar bercat biru ini tak banyak diisi perabot. Hanya ada lemari transparan berisi botol-botol kecil, meja, dan beberapa kursi. Juga ranjang kecil yang kini kami duduki.

Langsung saja tanganku membekap mulut saat perut tiba-tiba bergejolak. Ini pasti karena aku belum makan, ditambah pendingin ruangan yang menusuk, menguarkan harum bunga yang berkontaminasi dengan bau menyengat obat-obatan. Jam berapa sekarang? Aku menatap arloji di pergelangan tangan. Pukul 5 sore.

"Siapa? Oh, Aswin? Hmmm. Dia ...." Sambil menatapku ragu, tangannya bergerak pelan merogoh saku celana putih panjangnya.

"Bacalah." Ia mengulurkan sebuah kertas putih agak kusam yang dilipat asal. 

Aku tersentak. Membaca? Mas Aswin kan tahu bahwa aku .... “Aku sedang nggak ingin membaca.”

Ian menggelengkan kepala, tangannya bergerak pelan mmembuka lipatan kertas. “Kalau begitu dengarkan.” Lirihnya. Lalu mulai membaca.

"Dek, yang bersamamu sekarang adalah Rian, dia teman dekat mas sejak kecil. Untuk sementara waktu, kamu ikut dulu sama dia, ya. Mas di desa. Biar bapakmu tak curiga mas yang mengajakmu pergi. Nanti jika situasi sudah aman, mas nyusul kamu. Turuti apa saja kemauan dia dan jangan pernah ke mana-mana ya, Sayang.

Uang, perhiasan, ATM-mu aman di tangan mas. Mas akan mencoba merintis usaha, nanti jika sudah sukses, mas akan lamar kamu. Mas jamin, orang tuamu pasti setuju."

Mataku melebar. Segera kusambar kertas di tangan Ian. Sungguh, yang dilakukan Mas Aswin tak bisa diterima akal sehat. Amarah seketika memuncak, berdenyut di ubun-ubun. Tanganku mengepal kuat. Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa dicurangi. 

Kuremas kuat kertas dalam genggaman sampai kuku-kuku menusuk kulit. Sakit. Namun, sama sekali tak sebanding dengan rasa kecewa yang menyeruak perlahan dalam dada. Bisa-bisanya mas Aswin menitipkanku pada lelaki asing. Seperti barang saja!

Astaghfirullah. Aku menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosi yang kian membuncah. Apa ini teguran dari-Nya karena telah berbuat diluar batas? Durhaka kepada orangtua, juga mengambil jalan pintas dengan mencoba mendahului takdir Allah. Bukannya saat hendak bunuh diri tak memikirkan dosa, tapi, karena malam itu perasaanku sangat sedih dan semerawut, terluka, juga merasa dibuang. Ilmu yang pernah kukenyam di pesantren, malam itu menguar begitu saja, digantikan oleh nafsu yang membara. Mati. Mati! Hanya itu yang terlintas dalam benak.

"Dua jam setelah sampai sini, dia pulang. Dia sangat khawatir," kata Ian dengan suara pelan. Tatapannya seolah sedang mengasihaniku. Apakah lelaki ini bukan orang jahat? Ia terlihat ramah.

Aku menggigit bibir. Mataku memanas. Sesaat kemudian, butiran hangat terasa lembut mengalir di pipi. Ah, sudahlah, kenapa harus cingeng? Menangis, bukan cara tepat menuntaskan masalah. Lebih baik aku lekas pulang daripada berlama-lama dengan lelaki asing ini. Iya. Lebih baik pulang kemudian menemui Mas Aswin, mengajaknya pergi ke tempat yang jauh. Aku beranjak berdiri, meraih ransel di lantai, lalu melangkah cepat menuju pintu.

"Mau pergi ke mana, Cantik?"

Aku berbalik, menatapnya sebal. Kenapa ia memanggil nama orang semaunya?

"Namaku Lutfiah. Panggil aja Lut—"

"Aku tau, kok, namamu," ujarnya sambil melipat tangan di dada. Matanya memerhatikan tubuhku dari atas ke bawah. Huh! Wajah terlihat ramah, tapi matanya jelalatan. Dasar mata keranjang!

"Mau ke mana?" Ia menatap dengan wajah sungguh-sungguh.

"Pulang!"

Ia sekarang menahan senyum. "Memangnya ... punya uang?" tanyanya dengan tatapan mencemooh. Sungguh menyebalkan. Kukira, ia lelaki ramah. Ekspresi wajah dan mata sendunya sungguh menipu.

"Aku bisa jalan kaki!" Lalu, kembali aku melangkah. Terdengar suara sepatu mendekat. Ian mendahuluiku, berbalik, kemudian merentangkan kedua tangan sambil tersenyum lebar. 

"Ya-kin, ke Mesuji hanya jalan kaki? Coba, aku cek!" Serta-merta tangannya bergerak menyentuh jidatku. "Hmmm, gak panas. Berarti ... kamu gak gila."

Gila? Mulutku langsung menganga. Seumur hidup, baru kali ini kutemui orang yang lebih menyebalkan dari Abah. Aku menatap Ian dengan pandangan tak suka. Dasar ganjen! Sentuh orang sembarangan. Dan ... apa katanya barusan? Ke Mesuji jalan kaki? Memangnya, ini bukan di Mesuji? Lalu, di mana?

Lihat selengkapnya