Kumpul Kebo

Soh
Chapter #3

Tiga

Sekilas kutatap pantulan tubuhku di cermin lantas tergesa menyambar jilbab, mengenakannya sambil melangkah cepat menuju pintu karena ketukan tak sabar lagi-lagi terdengar. Aku menyentak napas. Dasar manusia tak sabaran.

"Kan kemarin aku udah bilang mau ngajak jalan setelah pulang dari rumah sakit, seharusnya, kamu udah siap-siap," cerocos Ian saat aku membuka pintu kamar dan melangkah keluar, berdiri diam di depannya. Ia memerhatikan penampilanku cukup lama.

"Kenapa? Ada yang salah?" Ganti aku mengamatinya. Berbeda saat melihatnya hendak berangkat ke rumah sakit tadi pagi yang begitu rapi, kini ia terlihat santai dengan kaos hitam polos tanpa lengan, dipadu jins panjang agak pudar yang sobek di beberapa tempat. Kaca mata hitam, bertengger di kepalanya.

Ian menggeleng kecil, tatapannya terus merayapi tubuhku. 

Bibirku perlahan melekuk senyum. Mungkin, ia terpesona padaku. Tubuh tinggi langsing, wajah putih mulus kekanakan, bibir seksi merah muda. Selain itu, aku juga baik, tak gampang tersinggung, mudah beradaptasi dengan orang baru dan punya pembawaan menyenangkan. Saat masih jadi pelajar, banyak sekali teman sekelas maupun kakak senior yang berlomba merebut perhatianku, bak sekumpulan laron mengerubungi lampu.

Aku merasa geli sendiri saat tiba-tiba terkenang pada kakak kelas yang mengejarku tanpa kenal lelah. Ia sekelas dengan Mas Aswin, 3 SMP, sementara aku kelas satu. Cowok itu selalu bertingkah menyebalkan—sok kenal sok dekat, mengirim surat, menitipkan salam rindu pada banyak teman sekelas. Pernah juga, ia mengumandangkan perasaannya dengan pengeras suara, sungguh saat itu rasanya aku malu sekali. Rasa benci padanya pun semakin bertambah. 

Meskipun begitu, aku sedikit berterima kasih karena atas semua perbuatannya, akhirnya aku dan Mas Aswin menjadi dekat.

"Senyum-senyum sendiri! Apa ada yang lucu? Jangan-jangan ... kamu kesambet setan, ya?!" Ian mengerutkan kening. Menatap dengan satu mata terpicing. Sungguh menyebalkan. 

Bibirku mengerucut, berusaha menepis keinginan agar tak mengoreksi penampilan Ian. Alay banget, seperti anak ABG. Ian itu, kok kalau ditatap lekat-lekat agak mirip dengan ... siapa, ya? Lupa, hanya saja wajahnya tidak asing. Sementara cara berpakaian dan tingkahnya amat mirip dengan Aldrian, cowok yang mengejarku tanpa kenal lelah.

"Ayo!"

Ian melangkah mendahului, telunjuknya segera menekan tombol di dinding dekat dua pintu besi yang tertutup rapat. Pintu membuka perlahan, Ian bergegas masuk. Aku terpana saat pintu mulai bergerak menutup. Waaah, amazing. Bisa membuka dan menutup secara otomatis, yang seketika memisahkanku dan Ian.

Sigap aku mendekat ke arah tombol. Tadi, Ian tekan yang mana, ya? Aku refleks mundur saat pintu membuka sendiri padahal tangan belum sempat menekan tombol. Di dalam ruangan kecil segi empat, Ian menatap dengan wajah cemberut. Tangannya bersidekap di dada.

"Ayo, cepat masuk!" serunya sambil bergerak cepat menarik tanganku. Pintu menutup pelan. Mau ngapain, sih, masuk ruangan ini? 

Lantai tiba-tiba terasa bergerak. Apa ada gempa bumi? Aku serta-merta merapat pada Ian dan melingkarkan tangan kanan ke lengannya. Ian menoleh terkejut. Namun sesaat kemudian, bahunya berguncang pelan. Terlihat sekali sedang menahan tawa.

Dasar menyebalkan! Apanya yang lucu?! Orang takut gempa malah ditertawai. Aneh.

"Dasar orang desa. Aku juga orang desa, tapi gak segitunya." Ian tertawa kecil. Langsung kuberi pandangan sebal.

Pintu terbuka sendiri. Kami segera keluar. Waah, sungguh ajaib sekali ruangan dan pintu tadi. Sesaat setelah masuk seolah terjadi gempa bumi, lalu tahu-tahu sudah berada di bawah. Tatapan spontan menyisir sekitar, pada bunga-bunga cantik di dalam pot yang berbaris rapi di halaman lalu ke arah jalan, di mana berbagai kendaraan terus melintas.

Aku dan Ian berjalan beriringan menuju gerbang rendah bermotif bunga yang terbuka lebar. Tepat di depan gerbang, agak ke pinggir, terpacak plang tinggi dengan papan putih bertulis "Dr. Ardian".

"Kita mau ke mana?" tanyaku sambil menoleh menatap Ian yang tiba-tiba menyambar lengan atasku, menariknya menuju ke arah jalan. Beberapa kendaraan langsung mengklakson tak sabar.

"Cuci mata," sahutnya setibanya di tepi jalan. 

Tangan Ian melambai ringan saat bis aneh berwarna oranye—beda sekali dengan bis di desa—bergerak mendekat. Kami melompat naik. Sekitar 20 menit, sampailah di pusat perbelanjaan yang begitu ramai dan terlihat mewah. Amat berbeda dengan di desa yang hanya ada pasar dengan beberapa toko kecil. Di pinggir jalan, berjajar gerobak aneka warna. Ian mendekati salah satunya.

"Dua."

Pesanan segera dibuatkan. Ian memberikan satu tusuk panjang keripik kentang padaku. Aku menerimanya, mengamati lekat-lekat. Aneh. Tak ada keripik kentang macam begini di desa.

"Ayoo," ajaknya sambil melangkah mendahului. 

Melihat Ian melangkah mantap penuh semangat, tiba-tiba wajah Mas Aswin membayang di benakku. Kenapa tak memberi kabar, Mas? Perasaan senang yang sejak tadi menyelimuti dada karena menemui hal-hal baru perlahan mengendur. Bagaimana mungkin saat ini, aku bukan bersama Mas Aswin malah dengan lelaki asing? Aku menunduk, merasa begitu sedih.

Ian menghentikan langkah, menoleh. "Ada apa? Ayoo."

"Apa Mas Aswin nggak nelpon kamu?" Suaraku lirih.

Ian menarik napas. "Gak."

Lihat selengkapnya